Alquran merupakan kitab petunjuk dalam meraih kemenangan bumi dan akhirat. Untuk mendapatkan petunjuk, manusia kudu membuka hati dengan lapang selapang-lapangnya.
Artinya, hatinya tanpa ragu sehingga mudah menerima apa pun yangg termaktub di dalam Alquran, dan perihal ini bakal berujung kemenangan dan keberuntungan.
Percaya Akhirat
Petunjuk yangg ada di dalam Alquran semuanya mengarahkan manusia untuk meyakini adanya akhirat. Dengan percaya akhirat, manusia mudah diarahkan untuk melakukan baik.
Alquran secara tegas menunjukkan bahwa orang yangg mendapatkan petunjuk bakal mendapatkan keberuntungan. Petunjuk itu hanya didapat dengan mempercayai isi Alquran secara total dan meyakini adanya akhirat.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَا لَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَاۤ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِا لْاٰ خِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ
“Dan mereka yangg beragama kepada (Alquran) yangg diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yangg telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka percaya bakal adanya akhirat.” (QS. Al-Baqarah : 4)
Gagalnya Abu Jahal mendapatkan petunjuk lantaran sejak awal menolak adanya akhirat.
Menolak alambaka sama saja menolak datangnya petunjuk. Semua petunjuk yangg datang dipandang sebagai ketidakejujuran sehingga senantiasa mendustakan apa pun yangg disampaikan Nabi Muhammad kepadanya.
Padahal menerima petunjuk dengan lapang dada, sama saja mendorong dirinya untuk melakukan baik. Perbuatan baik yangg sesuai petunjuk bakal mengarahkan dirinya untuk membuka pintu-pintu kebaikan yangg lain. Dengan membuka pintu-pintu kebaikan bakal meraih keberuntungan.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
اُولٰٓئِكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Merekalah yangg mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yangg beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 5)
Kegagalan Akal
Penolakan terhadap Alquran berasal dari kepercayaan mengandalkan hanya kepada akal. Betapa tidak, pada saat itu para pembesar Quraisy sedang dalam puncak kekuasaan dan kenikmatan.
Dikatakan di puncak kekuasaan lantaran menguasai seluruh aset ekonomi dan politik serta sebagai pemegang otoritas penuh dalam mewarnai budaya.
Menguasai tiga aset inilah yangg membikin mereka hidup dalam puncak kenikmatan.
Dalam situasi seperti, datangnya seseorang yangg mengaku Nabi dan rasul. Dikenal jujur dan dan amanah, namun terlahir tanpa mempunyai bapak, hidup miskin, dan tak mengenal huruf (ummi).
Dia mengingatkan pada para pembesar untuk berterima kasih atas kenikmatan yangg telah Allah anugerahkan pada mereka, dan menasihati untuk mengingat kebesaran-Nya. Bahkan rasul itu dengan meyakinkan bakal bisa menaklukkan kekuatan dua imperium, Romawi dan Persia jika beragama kepadanya.
Alih-alih mendengarkan, mereka justru mengolok-olok dan menuduh sebagai manusia kurang akal.
Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَاِ ذَا قِيْلَ لَهُمْ اٰمِنُوْا كَمَاۤ اٰمَنَ النَّا سُ قَا لُوْاۤ اَنُؤْمِنُ كَمَاۤ اٰمَنَ السُّفَهَآءُ ۗ اَ لَاۤ اِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَآءُ وَلٰـكِنْ لَّا يَعْلَمُوْنَ
“Dan andaikan dikatakan kepada mereka, “Berimanlah Anda sebagaimana orang lain telah beriman!” Mereka menjawab, “Apakah kami bakal beragama seperti orang-orang yangg kurang logika itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yangg kurang akal, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. Al-Baqarah : 13)
Atas hinaan itu, Allah pun berbalik menghina mereka dan mengatakan merekalah yangg kurang berakal.
Mereka dikatakan sebagai orang yangg kurang berakal lantaran kelak mereka bakal lenyap beserta kekuasaannya. Terbukti dalam sejarah, sebagian para pembesar Quraisy meninggal terhina di Perang Badar.
Andai kata berakal, mereka bakal beragama dan kekuasaan mereka semakin kokoh dengan menundukkan Romawi dan Persia. (*)
Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI, Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur