Pertanyaan seputar apakah buntang hewan termasuk najis, selain ikan dan belalang, kerap menjadi topik pembahasan dalam obrolan keagamaan.
Pembahasan ini tidak hanya mengenai aspek norma Islam tetapi juga berasosiasi dengan kebersihan dan hubungan manusia dengan lingkungan.
Bangkai, dalam arti fikih, adalah hewan yangg meninggal tanpa melalui penyembelihan syar’i. Para ustadz sepakat bahwa seluruh jenis bangkai, selain buntang hewan laut dan belalang, termasuk dalam kategori najis.
Kesepakatan ini merujuk pada firman Allah dalam Surah Al-An’am ayat 145 yangg menyebut bangkai, darah yangg mengalir, daging babi, dan hewan yangg disembelih atas nama selain Allah sebagai rijsun (kotor). Para fukaha memahami istilah ini sebagai penanda kenajisan buntang tersebut.
Namun, krusial dicatat bahwa kenajisan buntang bukanlah kenajisan unsur (najis ‘aini) seperti babi, tetapi lebih disebabkan oleh adanya darah yangg tetap mengalir alias bagian tubuh yangg basah.
Jika buntang dalam kondisi kering, dia tidak meninggalkan jejak najis pada barang yangg disentuhnya.
Sebagai ilustrasi, jika seekor kucing meninggal dalam kondisi tubuh kering, maka lantai yangg bergesekan dengan tubuhnya tidak otomatis menjadi najis.
Meskipun demikian, tetap dianjurkan membersihkan lantai tersebut untuk menjaga kebersihan dan kenyamanan.
Dalam aspek pemanfaatan, Islam menunjukkan fleksibilitas. Contohnya adalah penggunaan kulit buntang setelah melalui proses penyamakan.
Hal ini berasas sabda Rasulullah saw. yangg diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas: “Jika kulit itu disamak, maka dia menjadi suci.” (HR Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa penyamakan dapat menghilangkan kenajisan pada kulit bangkai, sehingga memungkinkan penggunaannya untuk beragam keperluan. (*/tim)
Sumber:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Untuk mendapatkan update sigap silakan berlangganan di Google News