Memoar Giri Kedaton: Kerajaan Para Ulama di Pulau Jawa - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 tahun yang lalu

Giri Kedaton adalah salah satu kerajaan nan unik di pulau jawa. Pasalnya, tidak hanya sebagai kerajaan namun juga pusat pendidikan Islam alias pesantren. Sebuah kerajaan para ustadz dengan tujuan menyebarkan aliran kepercayaan Islam di pulau jawa dengan strategi politik.

Istana tersebut dinamakan Giri Kedaton lantaran didirikan di wilayah Giri oleh salah satu Walisongo, ialah Raden Paku (Sunan Giri). Kedaton berasal dari kata Datu nan berfaedah raja, nan diberi imbuhan menjadi Ke-daton dan berubah makna menjadi tempat raja.

Raden Paku adalah putra dari Dewi Sekardadu nan merupakan putri semata wayang dari Prabu Menak Sembuyu dari kerajaan Blambangan (sebuah kerajaan nan ada di Banyuwangi), sedangkan ayahnya adalah Maulana Ishaq seorang ustadz dari Jeddah nan pada abad ke 15 bermukim di Malaka alias Pasai.

Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardadu lantaran dia sukses menyembuhkan penyakit Dewi Sekardadu nan terkena pandemi pagebluk. Namun setelah itu, keberadaan Maulana Ishaq kurang disukai di Kerajaan Blambangan lantaran dia berbeda keyakinan. Setelah kelahiran Raden Paku pada tahun 1442 M, menjadikan para patih Blambangan iri lantaran urung menikahi Dewi Sekardadu.

Masa Kecil Raden Paku

Singkat cerita, Raden Paku pada saat tetap bayi dibuang oleh kakeknya, Prabu Menak Sembuy. Sebab dia adalah anak nan dipercaya sebagai ancaman bagi kakeknya dan para petinggi kerajaan Blambangan, lantaran ayahnya sukses menyebarkan Islam di Blambangan. Maulana Ishaq pun akhirnya pergi dari kerajaan Blambangan dan pulang ke Pasai untuk melanjutkan dakwahnya.

Dalam Buku Serat Centhini Latin I, disebutkan bahwa penghanyutannya di Selat Bali hingga tiba di Pelabuhan Gresik kemduian ditemukan oleh saudagar wanita nan berjulukan Nyi Ageng Pinatih alias Nyai Samboja. Dari peristiwa itulah, ibu angkatnya ini memberikan nama Jokok Samudro. Pada usianya nan ke 12 tahun, Nyi Ageng Pinatih membawanya ke Pesantren Ampel Denta milik Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Surabaya.

Nyi Ageng Pinatih menceritakan nan sebenarnya kepada Sunan Ampel dan memperlihatkan peti tempat Raden Paku dibuang. Sunan Ampel langsung mengetahui bahwa ciri-ciri peti tersebut mirip dengan peti milik raja Blambangan dan dia percaya bahwa anak tersebut merupakan sepupunya nan tak lain adalah putra dari Maulana Ishaq. Sebab dia sempat menerima berita bahwa putra pamannya dibuang ke laut oleh mertuanya. Kemudian Sunan Ampel menunjukkan kepada Maulana Ishaq.

Raden Paku mini adalah sosok santri nan pandai dengan sorotan mata nan meyakinkan. Oleh lantaran itu, Sunan Ampel memberi nama Muhammad Ainul Yaqin. Kecerdasan nan memancar itu menghadirkan kekuatan makrifat dalam pribadi Sunan Giri. Ia belajar di Ampel Denta berbareng dengan putra Sunan Ampel, ialah Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang.

***

Disebutkan dalam kitab Nyarkub: Menyulam Silam karya M. lutfi Ghozali, terdapat sebuah kisah dimana Sunan Giri menghadap Sunan Ampel untuk memohon izin menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sunan Ampel memintanya untuk menemui ayahnya alias Maulana Ishaq terlebih dulu di Pasai.

Selama berbulan-bulan Raden Paku belajar pengetahuan kepercayaan di Pasai dengan ayahnya. Sang ayahpun  memerintahkan Raden Paku untuk mendirikan pesantren dan tak lupa untuk menunjukkan langkah menentukan tempat nan strategis nan kelak dalam jangka panjang bakal menjadi istananya. Raden Paku dibekali segenggam tanah untuk mencari tanah nan serupa dengan tanah dari Pasai tersebut.

Setelah mendapat perintah untuk mendirikan pesantren, Raden Paku kembali ke Gresik ditemani dua orang utusan ayahnya, ialah Syekh Grigis dan Syekh Koja. Mereka menemui Sunan Ampel untuk membicarakan perihal segenggam tanah tersebut.

Raden Paku melakukan napak tilas menyusuri tebing dan mendaki gunung. Hingga akhirnya dia menemukannya di tahun 1481 M di sebuah wilayah berjulukan Giri nan mana tetap termasuk dalam wilayah otonom kerajaaan Majapahit.

Mendirikan Pesantren Giri dan Penyematan Gelar Sunan Giri

Pada saat itu, Majapahit sedang dalam masa kegelapan dengan melepas satu-persatu negeri taklukannya. Dengan mendirikan pesantren Giri maka dia disebut Sunan Giri.

Sebagai seorang ulama, Ia juga menuliskan kitab nan mengangkat enam puluh persoalan kepercayaan nan berjudul Sittina. Tidak hanya itu, dia juga membikin beberapa tembang dolanan untuk mengenalkan nilai-nilai Islam. Sunan Giri juga dikenal sebagai Mursyid Tarekat Syatariyah, nan mana sanadnya terhubung dari Syekh Maulana Ishaq alias ayahnya hingga Rasulullah Saw.

Bentuk Giri Kedaton layaknya sebuah bukit nan dibuat berundak-undak dengan bagian atas nan semakin mengecil. Bangunan tersebut bertingkat tujuh dan disebut Tundha Pitu komplit dengan taman air (taman sari) nan indah.

Sunan Giri beserta santrinya membangun beberapa infrastruktur, salah satu di antaranya adalah sebuah telaga. Pada saat itu, wilayah Giri sedang mengalami krisis air. Oleh lantaran itu, Sunan Giri beserta santrinya membikin sebuah telaga nan diberi nama Telaga Pegat. Sebab keberadaannya memisahkan dua buah bukit, ialah Bukit Bagung dan Patriman.

Tidak hanya itu, pada saat nan sama Sunan Giri juga menggali mata air nan letaknya agak jauh dari pesantren Giri dan berada di sebuah desa nan berjulukan Desa Suci.

Dalam perihal ini, Sunan Giri tidak hanya mengajarkan teori saja kepada santrinya namun mengajarkan hormat sosial agar keberadaan para santri bisa dirasakan kebermanfaatannya oleh masyarakat sekitar.

Sejak saat itu, keberadaan pesantren Giri membikin wilayah Giri mengalami perkembangan nan pesat. Pesantren Giri juga telah mengungguli pesantren Ampeldenta. Sejak saat itu, Sunan Giri mempunyai keahlian untuk memutus keotoriteran dan feodalisme Majapahit dengan membentuk kerajaan, dengan kata lain melalui kekuatan politik.

Pusat Kekuatan Politik

Hal ini sejalan dengan apa nan dikatakan Abdullah Hafidz dalam penelitiannya (2021), bahwa Giri Kedaton mulanya adalah sebuah tempat belajar kepercayaan nan kemudian mengalami perkembangan dan kemajuan nan pesat sehingga dapat dijadikan pusat kekuatan politik.

Hingga pada tahun 1470 M, didirikannya pusat pemerintahan Giri Kedaton nan dipimpin langsung oleh Sunan Giri berkah support dan dorongan dari pembesar Jawa Dwipa nan tidak bisa ditolak. Beliau resmi dikukuhkan sebagai raja Giri Kedaton dengan gelar Kanjeng Sunan Prabu Satmata pada 12 Rabiul Awal 894H alias 9 Maret 1487 M. Sunan Giri sebagai raja sekaligus ustadz dalam bahasa Jawa disebut Pandito Ratu.

Bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit, maka kerajaan Giri semakin menujukkan kejayaannya. Giri Kedaton tetap eksis sepanjang pemerintahan Sunan Giri nan wafat pada 1506. Hingga pemerintahan ini dilanjutkan secara turun temurun kepada Sunan Dalem, Sunan Seda ing Margi, Sunan Prepen, Sunan Kawis Guwa, Panembahan Ageng Giri, Panembahan Mas Witana, hingga Pangeran Puspa Ita.

Kerajaan ini mengalami puncak kejayaan di masa pemerintahan Sunan Prapen (1548-1605). Dimana pada saat itu, Giri Kedaton menjadi pusat dakwah Islam nan sangat menonjol di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan para santri nan diasuh Sunan Prapen banyak nan menjadi pemimpin besar. Mereka tersebar di Nusantara dan wilayah Giri menjadi makmur dibawah kekuasaannya.

Keruntuhan Giri Kedaton

Hingga pada masa Sunan Prapen wafat pada 1605 dan digantikan oleh Sunan Kawis Guwa. Sejak itulah Giri Kedaton meulai menampakkan sinyal-sinyal keruntuhannya. Dimulai dengan mendapat serangan dari Mataram Islam nan dipimpin oleh Sultan Agung nan mau memperluas wilayahnya. Terlebih saat Giri Kedaton terlibat dalam pemberontakan Trunojoyo terhadap Mataram, kehancuran telah menunggunya.

Meskipun Giri Kedaton sudah tiada, namun tradisi nan dilahirkan tetap tetap terjaga hingga sekarang. Tradisi itu di antaranya; Rebo Wekasan, Malem Selawe, Damar Kurung, Kolak Ayam dan lain sebagainya.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id