Membangun Religiusitas Islam yang Mencerahkan
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Religiusitas diambil dari kata religiosity. Menurut English Dictionary religiosity ialah “strong religious feeling or belief”, artinya “perasaan alias kepercayaan keyakinan yangg kuat”. American Dictionary, menyebut religosity adalah “the quality of being religious; piety; devoutness artinya “kualitas menjadi religius; kesalehan; ketaatan. Kesimpulannya, religiusitas adalah “kebereragamaan yangg kuat”, identik dengan “kesalehan beragama”.
Sebagian mahir mengaitkan “religiusitas” dengan “spiritualitas”. Disebutkan, spiritualitas adalah sumber motivasi dan emosi perseorangan yangg berkenaan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan, sedangkan religiusitas merupakan pengabdian kepada Tuhan alias kesalehan (KBBI, 2016). Istilah spiritualitas berkarakter umum, tidak selalu dikaitkan alias otomatis mengenai agama.
John Nasbitt (2000) mengaitkan spiritualitas dengan “spiritualitas tanpa agama”, suatu kejadian baru dalam kehidupan modern mutakhir ketika sebagian manusia mau mencari kanopi spiritualitas alias hal-hal rohaniah yangg menenteramkan alias mendamaikan kehidupan tetapi tidak rujukan alias hubungan kepercayaan yangg hidup di masyarakat bumi seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha.
Terdapat kritik tentang religiusitas, menurut pendapat bahwa keberagamaan yangg kuat condong “annoying” (menjengkelkan) lantaran menjadi terlalu militan, dogmatik, dan rigid dalam menampilkan “religious behaviour”, yangg terkenal disebut “radikal-ekstrem”. Bukan kuatnya yangg menyebabkan berakidah yangg ekstrem, tetapi bias pemahaman dan adanya aspek lain yangg sering menyebabkan sebagian orang berakidah yangg berlebihan.
Religusitas Islam
Religius alias religiosity dalam bahasa Arab disebut “ at-tadayyun” yangg mengenai dengan “al-diniyyah, mutadayyin”; kondisi yangg berkarakter keagamaan alias lebih mendalam “al-ruhu al-diniyyah” berbudi pekerti keagamaan; diambil alias merupakan bagian dari “al-din” alias “din” ialah kepercayaan yangg artinya keberagamaan. Sebaliknya orang yangg menjauhkan alias memisahkan diri dari agama alias “sekular” (sekuler) dalam bahasa Arab disebut “al-‘ilmany” (bersifat keilmuan), dan sekularisme alias mengerti sekuler disebut “al-‘ilmanyyah” alias “al-ladiniyyah”. Peristilahan tentang sekular alias sekularisme tetap menjadi bahan perdebatan di lingkungan cerdas pandai alias ustadz Islam.
Bagi Yusuf Qardhawi (2006), istilah sekular alias sekularisme bukanlah “al-’Ilmaniyyah” melainkan “al-Ladiniyyah” alias “al-La’aqidah“, namun penggunaan “al-’Ilmaniyyah” adalah untuk mengelabui umat Islam, lantaran jika diterjemahkan kepada “al-Ladiniyyah” alias “al-La’aqidah“, umat Islam pasti bakal menolaknya, lantaran itu, sungguh jahatlah penterjemahan sekular kepada istilah “al-’Ilmaniyyah”.
Meskipun, sebagai catatan istilah “la-diniyah” yangg disematkan Qardhawi terkesan maknanya “tidak beragama” alias “anti agama” (agnostik), apalagi anti tuhan alias ateis. Sekular alias sekuler dalam pandangan yangg umum tidaklah anti-agama, hanya menempatkan kepercayaan di ranah privat alias pribadi serta memisahkannya dari urusan publik; sebagian menyebut sebagai mengerti “netral-agama”. Suatu istilah alias konsep selalu bakal menjadi perdebatan dalam pemikiran keilmuan dan keagamaan.
Religiusitas dalam Al-Quran tersebar di banyak ayat dengan beragam konsep seperti karakter orang-orang “muslim”, “mukmin”, “muhsin”, “muttaqin”, dan banyak konsep mengenai dengannya. Konsep dan diksi “ibad ar-rahman” (para hamba terkasih) dalam surat Al-Furqan ayat 63-77 misalnya, sangat spesifik mengandung makna dan kandungan isi religiusitas alias keberagamaan dalam Islam. Ciri-ciri orang beragama di Surat Al-Mukminun sangat komplit mengenai sifat keberimanan seorang mukmin.
Ciri-ciri orang bertqwa antara lain di Surat Al-Baqarah ayat 1-5 dan ayat 177 serta Ali Imran 134-135 sangat jelas dan terinci mengenai kebertaqwaan orang Islam alias religiusitas taqwa. Berbagai karakter religiusitas muslim, mukmin, mushin, dan muttaqin dapat dielaborasi menjadi religiusitas Islam sebagai rujukan spiritualitas dalam berakidah Islam dan menjalani kehidupan di beragam aspek dan ranah.
Religusitas Ihsan
Islam secara unik mengajarkan religiusitas “ihsan”. Ihsan merupakan aliran yangg mensintesiskan ibadah dengan dimensi esoterik ketaatan dan Islam. Setiap muslim dan mukmin diajari tentang ihsan sebagai trilogi dari aliran “Islam, Iman, dan Ihsan”. Hadis Nabi yangg masyhur tentang ihsan yangg dikaitkan dengan Islam dan iman, ketika Nabi ditanya Jibril, beliau menjawab yangg artinya: “Ihsan adalah engkau beragama kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia memandang engkau” (HR Bukhari & Muslim dari Ibn Umar).
Menurut Falih Bin Muhammad mengutip Al-Qurthubi, ihsan alias “al- ihsan” mengandung dua makna. Pertama, artinya “memperbaiki dan menyempurnakan kebaikan”, makna yangg kedua “memberikan sesuatu yangg bermanfaat”. Mengutip Asy-Syaukani, “Ihsan secara bahasa berarti mengamalkan sesuatu yangg tidak diwajibkan seperti sedekah. Termasuk makna insan adalah melakukan sesuatu yangg mengandung pahala, tetapi tidak diwajibkan oleh Allah, baik dalam corak ibadah maupun lainnya” sebagaimana sabda dari Ibnu Umar tersebut. Dalam menyembelih hewan ternak yangg dihalalkan Allah pun hendaknya dengan langkah yangg terbaik, seperti disabdakan oleh Nabi “fa-ahsinu al-qitlata”.
Ihsan merupakan aliran yangg mempunyai kedudukan tertinggi dalam hubungan dengan Allah dan makhluk-Nya. Allah dalam Al-Quran memerintahkan melakukan ihsan lantaran Dia mencintai orang yangg melakukan kebaikan, “…dan melakukan baikkah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yangg melakukan baik.” (QS Al-Baqarah: 195). Ihsan setara dengan taqwa, “Sungguh Allah beserta orang-orang yangg bertaqwa dan orang-orang yangg melakukan kebaikan,” (QS An-Nahl: 128). Ihsan berangkaian dengan jihad alias berjuang di jalan Allah, “Dan orang-orang yangg berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami bakal tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yangg melakukan baik.” (QS Al-Ankabut: 69).
Makan minum alias memenuni kebutuhan dasar mesti dilakukan dengan baik, sebagai bagian dari karakter “al-muhsinun” alias orang-orang yangg melakukan ihsan, “(Katakan kepada mereka), “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai jawaban dari apa yangg telah Anda kerjakan. Sungguh, demikianlah Kami memberi jawaban kepada orang-orang yangg melakukan baik.“ (QS Al- Mursalat: 43-44), serta di ayat lainnya, “Mereka memperoleh apa yangg mereka kehendaki di sisi Tuhannya. Demikianlah jawaban bagi orang-orang yangg melakukan baik” (QS Az-Zumar: 34).
Ihsan merupakan sifat terpuji orang-orang Islam dan mukmin, sebagaimana sifat para Nabi dan Rasul, serta sifat hamba-hamba Allah yangg ikhlas. Allah berfirman yangg artinya, “Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi jawaban kepada orang-orang yangg melakukan baik.” (QS Ash-Shaaffaat: 79-80). Ibrahim melakukan ihsan, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi jawaban kepada orang-orang yangg melakukan baik.” (QS Ash-Shaaffaat: 109-110).
Nabi Musa dan Harun sosok yangg ihsan, “Selamat sejahtera bagi Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi jawaban kepada orang-orang yangg melakukan baik.“ (QS Ash-Shaaffaat: 120-121). Nabi Ilyas figur al-muhsin, “Selamat sejahtera bagi Ilyas. Demikianlah Kami memberi jawaban kepada orang-orang yangg melakukan baik.” (QS Ash-Shaaffaat: 130-131). Demikian pula Nabi Ishaq, Ya’qub, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayyub, dan Yusuf (QS Al- An’am: 83-84), serta mahir surga mempunyai sifat-sifat ihsan (QS Al-Mursalat: 41-43).
Ihsan adalah adab mulia yangg kudu selalu diamalkan oleh setiap muslim dalam setiap waktu dan segala urusan kehidupan. Akhlak berbasis ihsan merupakan persenyawaan ruhani kesalihan dari kedekatan insan muslim dan mukmin dengan Allah serta terwujud dalam kesalihan dengan manusia dan lingkungan dalam segala praktik kebaikan yangg luhur dan utama. Esensinya, ihsan melahirkan spiritualitas, moral, etika, dan tindakan yangg luhur dan membuahkan pencerahan hidup bagi diri, keluarga, masyarakat, umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Sebutlah sikap sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah yangg direpresentasikan dari sifat utama Rasulullah.
Lebih unik sifat ikhlas, khusyuk, tasyakur, sabar, tawakal, tawadhu’ (rendah hati), tasamuh (toleran), tarahum (kasih sayang, welas asih), takaful (tanggungjawab sosial), ta’awun (suka membantu), tahalum (lemah lembut), ‘alim (berilmu), hikmah (bijaksana), karamah (mulia), muru’ah (rasa malu melakukan buruk), irfa’ (perilaku luhur), irja (kepasrahan tertinggi), syaja’ah (berani yangg terpuji), tawazun alias tawastuh (tengahan), serta sifat-sifat mulia lainnya yangg menjadi teladan terbaik alias uswah hasanah.
Ihsan dalam perlilaku merupakan sikap dan perbuatan baik yangg serba utama. Allah berfirman yangg artinya: “(yaitu) orang yangg berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yangg menahan amarahnya dan mengampuni (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yangg melakukan kebaikan. dan (juga) orang-orang yangg andaikan mengerjakan perbuatan biadab alias menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lampau memohon pembebasan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yangg dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS Ali Imran: 134-135).
Ihsan adalah “al-birr” ialah kebaikan esensial dari beriman, beribadah, bersikap, dan melakukan merupakan perbuatan yangg melampaui formalitas rukun sebagaimana firman Allah, yangg artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi amal itu adalah (kebajikan) orang yangg beragama kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan kekayaan yangg dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yangg dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yangg melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yangg menepati janji andaikan berjanji, dan orang yangg sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yangg benar, dan mereka itulah orang-orang yangg bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 177).
Ihsan melampaui adil. Bila setara membalas kebaikan alias keburukan dengan yangg setimpal. Ihsan sebaliknya, kebaikan dibalas dengan kebaikan yangg lebih, serta keburukan dibalas dengan kebaikan. Allah berfirman yangg artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) bertindak setara dan melakukan kebajikan, memberi support kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar Anda dapat mengambil pelajaran” (QS An-Nahl: 90). Para mufasir ketika membahas Surat An-Nahl tersebut beragam redaksi tentang “ihsan”, tapi substansinya sama ialah kebaikan yangg sempurna alias utama. Ibnu Katsir memaknai ihsan sebagai “amal kalbu melampaui kebaikan lahir”, menurut Quraish Shihab “ihsan lebih baik dari adil”, Al-Maraghi memaknainya “berbuat baik kepada orang yangg melakukan jelek kepadamu”.
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2022