Dalam obrolan yangg digelar dalam rangka Kajian Ramadan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim di Universitas Muhammadiyah Lamongan (UMLA), pada Sabtu (8/3/2025), tema “Baldah Thayyibah dalam Kondisi Terkini Dunia” dan “Baldah Thayyibah: Refleksi untuk Negeri” menjadi pembahasan utama.
Acara ini menghadirkan dua pembicara terkemuka, ialah Hajriyanto Y. Thohari, MA (Duta Besar Indonesia untuk Libanon) dan Prof. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015), yangg mengulas konsep negeri yangg ideal menurut perspektif Islam.
Dalam pemaparannya, Hajriyanto Y. Thohari mengupas makna “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur” dengan menyoroti era kejayaan Bani Umayyah. Ia menegaskan bahwa periode tersebut merupakan era “Baldatun Thayyibah” yangg sempurna lantaran belum ada tandingannya dalam sejarah.
Ada tiga aspek krusial yangg kudu dimiliki oleh sebuah negara agar dapat dikategorikan sebagai negeri yangg baik dan makmur. Pertama, sistem pendidikan yangg unggul,” katanya.
Dia lampau mencontohkan gimana Abdurrahman Ad-Dakhil, yangg pada usia sembilan tahun kudu melarikan diri dari pembersihan yangg dilakukan oleh Bani Abbasiyah, akhirnya mendirikan kerajaan di Andalusia dengan sistem pendidikan yangg maju.
“Hal ini dibuktikan dengan hadirnya universitas-universitas besar seperti Universitas Kordoba dan Sevilla yangg menjadi pusat pengetahuan pengetahuan bumi saat itu,” terang Hajriyanto.
Kedua, sebut dia, sistem transportasi yangg baik. Dia menekankan bahwa negara yangg makmur kudu mempunyai prasarana transportasi yangg memadai. Sebagai contoh, pada masa kejayaan Islam, sungai-sungai besar seperti Eufrat dan Tigris menjadi simbol kebersihan dan kemakmuran sebuah peradaban.
Dalam penyampaiannya, Hajriyanto juga mengutip firman Allah dalam Al-Qur’an yangg menggambarkan kemakmuran kaum Saba’:
لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖ ۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥ ۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُور
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, ialah dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yangg (dianugerahkan) Tuhan-mu dan bersyukurlah Anda kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yangg baik dan (Tuhan-mu) adalah Tuhan nan Maha Pengampun”. (QS. Saba : 15)
Suatu negeri hancur lantaran tidak berterima kasih dan tak bersungguh-sungguh dalam memegang amanah dan jika melakukan perbaikan.
فَأَعۡرَضُواْ فَأَرۡسَلۡنَا عَلَيۡهِمۡ سَيۡلَ ٱلۡعَرِمِ وَبَدَّلۡنَٰهُم بِجَنَّتَيۡهِمۡ جَنَّتَيۡنِ ذَوَاتَيۡ أُكُلٍ خَمۡطٖ وَأَثۡلٖ وَشَيۡءٖ مِّن سِدۡرٖ قَلِيلٖ
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yangg besar dan Kami tukar kedua kebun mereka dengan dua kebun yangg ditumbuhi (pohon-pohon) yangg berbuah pahit, pohon Aṡl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba :16)
Sementara itu, Din Syamsuddin menambahkan bahwa kaum Saba’ mengalami kehancuran akibat kesombongan dan sikap mereka yangg tidak bersyukur.
“Mereka sombong lantaran mempunyai bentuk yangg besar dan hanya hidup dalam kesenangan. Akibatnya, Allah mengirimkan angin yangg menghancurkan negeri mereka,” katanya.
Menurut Din, negeri yangg mempunyai kekayaan melimpah tetapi juga mempunyai sumber daya manusia yangg beradab luhur adalah gambaran Baldatun Thayyibah.
Dia mencontohkan negeri pada masa Nabi Sulaiman yangg makmur berkah pembangunan yangg baik serta kepemimpinan seorang nabi yangg saleh dan adil.
“Berbeda dengan negeri yangg hanya mengandalkan kekayaan alam tanpa nilai luhur dalam sumber daya manusianya, yangg justru berujung pada kehancuran akibat beragam corak penyimpangan dan kerusakan di beragam sektor,” tandas Din.
Pancasila sebagai Landasan Baldatun Thayyibah
Dalam pembahasannya, Din Syamsuddin juga menyoroti Pancasila sebagai prasarana nilai yangg telah mencakup seluruh konsep Baldatun Thayyibah.
Dia menegaskan bahwa Pancasila mempunyai nilai-nilai ketuhanan hingga keadilan sosial, sehingga sangat layak dijadikan landasan dalam membangun negeri yangg makmur dan beradab.
Namun, Din menyayangkan adanya penyimpangan yangg menyebabkan nilai-nilai tersebut menjadi kabur.
“Penyimpangan ini apalagi sampai pada tahap peniadaan Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta ketidakadilan sosial yangg semakin nyata dirasakan oleh masyarakat,” tegasnya. (slamet muliono redjosari)