Maqashid Umar bin Khathab dalam Menangguhkan Hukuman Hudud - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 20 jam yang lalu

Oleh: Wahyudi Abdurrahim

Allah telah menitipkan kekayaan kepada umat manusia, yangg menjadi kewenangan bagi pemiliknya untuk digunakan dengan langkah yangg benar. Dalam al-Qur’an dan hadis, banyak keterangan yangg menjelaskan gimana sikap kita terhadap harta, baik kekayaan milik kita sendiri maupun orang lain. Aturan penggunaan kekayaan ini sangat rinci. Prinsip utamanya adalah kekayaan kudu diperoleh melalui jalan yangg legal dan digunakan untuk hal-hal yangg halal.

Bagi pemilik harta, mereka wajib menggunakan duit dengan baik. Sementara bagi orang lain, tidak diperkenankan mengambil kekayaan orang lain dengan langkah yangg tidak sesuai dengan norma syariat, seperti mencuri, korupsi, manipulasi, riba, judi, dan sebagainya. Perolehan kekayaan dengan cara-cara yangg terlarang ini diharamkan. Pelakunya pun berkuasa mendapatkan balasan setimpal. Bagi pencuri yangg mengambil kekayaan orang lain dalam kadar tertentu, dia dapat dikenai balasan hudud, ialah pemotongan tangan. Bagi para perampok, dalam kondisi tertentu, bisa dikenai balasan meninggal dengan disalib. Hukuman meninggal juga dapat diterapkan pada para koruptor yangg telah merampok duit rakyat.

Hukuman pangkas tangan bagi pencuri yangg mengambil kekayaan orang lain dalam kadar tertentu diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Laki-laki yangg mencuri dan wanita yangg mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan atas apa yangg mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah: 38-39)

Namun meski para pencuri semestinya mendapatkan balasan setimpal, dalam kondisi tertentu balasan tersebut bisa ditangguhkan. Jika pencurian tersebut tidak memenuhi standar yangg berlaku, seperti mencuri dalam jumlah mini alias lantaran keadaan sangat terpaksa, balasan hudud dapat tidak diberlakukan. Hal ini pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khathab.

Pada suatu masa di bawah pemerintahan Umar bin Khathab, terjadi musim paceklik yangg mengakibatkan kandas panen. Seorang pencuri sukses ditangkap dan dibawa ke hadapan Khalifah Umar bin Khathab. Umar tidak serta merta menjatuhkan balasan pangkas tangan kepada pencuri tersebut. Ia terlebih dulu menanyakan argumen di kembali pencurian tersebut. Ternyata, pencuri itu mencuri lantaran terpaksa untuk memberi makan keluarganya yangg kelaparan akibat musibah tersebut. Mengingat situasi yangg sangat sulit, Umar pun memutuskan untuk membebaskan pencuri tersebut tanpa balasan pangkas tangan.

Umar bin Khathab tidak menggugurkan nas, namun dia membaca nas dengan memahami ruh dan maqashidnya. Jika norma dipahami secara literal tanpa memperhatikan konteks dan argumen di kembali perbuatannya, maka balasan pangkas tangan bakal diberlakukan tanpa memandang kondisi tertentu. Namun Umar bin Khathab lebih mengedepankan nilai kemanusiaan, ialah dengan mempertimbangkan situasi pencuri yangg terpaksa melakukannya lantaran kelaparan.

Bagi Umar bin Khathab, balasan hudud tidak bisa diterapkan secara sembarangan. Ada persyaratan yangg kudu dipenuhi, seperti pencurian yangg dilakukan bukan lantaran terpaksa untuk menyambung hidup. Bahkan dalam situasi seperti itu, pencuri semestinya diberikan perhatian, bantuan, dan kewenangan dari baitul mal (kas negara). Negara, dalam pandangan Umar bin Khathab, kudu menjamin kehidupan warganya, sebagaimana tertulis dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yangg menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”

Pencuri juga tidak dipotong tangannya jika kondisi negara sedang menghadapi kelaparan, lantaran dalam keadaan tersebut, kemungkinan pencurian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Kecuali jika terbukti bahwa pencurian tersebut dilakukan bukan lantaran kebutuhan mendesak alias terpaksa, maka dia baru dapat dikenakan balasan pangkas tangan.

Terkait dengan perihal ini, terdapat kaedah ushul fiqh yangg mengatakan:

الحدود تدرأ بالشبهات

Hudud dapat dihindari lantaran adanya syubuhat (keraguan).

Kaedah ini juga didasarkan pada sabda Rasulullah saw:

ادرؤوا الحدود بالشبهات عن المسلمين ما استطعتم فان وجدتم المسلم مخرجا فخلوا

“Hindarilah hukuman-hukuman dari orang-orang Islam semampumu. Apabila engkau menemui jalan keluar (selain had), maka bebaskanlah mereka.” (HR. Tirmidzi)

Maka sangat miris ketika kita membaca buletin pada tahun 2015, seorang nenek berumur 63 tahun, Nenek Asyani, divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 ribu subsider 1 hari balasan percobaan setelah didakwa mencuri dua batang pohon jati milik Perhutani untuk dijadikan tempat tidur. Sementara itu, Nenek Asyani berdasar bahwa batang pohon jati yangg dia tebang berasal dari lahannya sendiri yangg diambil oleh almarhum suaminya lima tahun sebelumnya.

Begitu pula cerita nenek Minah dari Banyumas, Jawa Tengah, yangg divonis 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan lantaran mencuri tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan pada tahun 2009.

Hukum semestinya tidak hanya berbincang soal betul alias salah, tetapi juga mempertimbangkan sisi moral dan kemanusiaan. Motif pelaku dalam melakukan tindakan pidana menjadi salah satu pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman. Seperti halnya Umar bin Khathab yangg mempertimbangkan keadaan pencuri yangg miskin dan kelaparan sebelum menjatuhkan hukuman.

Selain aspek motif, ada juga standar minimal kekayaan yangg dicuri. Batas minimal untuk seseorang agar dapat dikenakan balasan pangkas tangan adalah 3 dihram (seperempat dinar), yangg setara dengan sekitar 350 ribu rupiah. Pencuri yangg tidak mencuri lantaran kebutuhan mendesak, tetapi untuk memenuhi style hidup mewah, semestinya tidak masuk dalam kategori pencuri yangg dapat dihukum dengan pangkas tangan.

Saat ini, kita seringkali mendengar tentang para koruptor yangg mencuri duit negara dalam jumlah yangg sangat besar, apalagi mencapai triliunan rupiah. Mereka adalah para pejabat yangg mendapatkan penghasilan besar tetapi tetap tergoda untuk mengambil duit negara demi kepentingan pribadi. Dalam pandangan Islam, mereka adalah perampok, yangg semestinya dihukum dengan balasan yangg jauh lebih berat, ialah dibunuh dan disalib, sesuai dengan firman Allah:

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yangg memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membikin kerusakan di bumi adalah mereka dibunuh alias disalib, alias dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, alias dibuang dari negeri (tempat kediamannya). nan demikian itu (sebagai) penghinaan untuk mereka di dunia, dan di alambaka mereka bakal mendapat siksaan yangg besar.” (QS. Al-Maidah: 33)

Di negeri ini, tetap banyak para perampok duit negara. Ratusan kepala wilayah yangg terjaring oleh KPK, namun sayangnya balasan yangg dijatuhkan kepada mereka seringkali tidak setimpal dengan perbuatannya. Akibatnya, korupsi tetap menjadi budaya yangg susah diberantas. Mungkin, jika mereka dijatuhi balasan meninggal dengan disalib, orang bakal berpikir dua kali sebelum merampok duit negara, apalagi dengan jumlah yangg sangat besar. Namun, kapan kondisi seperti itu bisa tercapai? (*)

-->
Sumber Klikmu.co
Klikmu.co