Beberapa waktu lalu, saya mengisi aktivitas obrolan dalam rangka aktivitas Darul Arqam Madya (DAM) Ikatan Mahassiwa Muhammadiyah (IMM). Penyelenggaranya, Pimpinan Cabang IMM Kota Surabaya.
Temanya menarik. Terkait perjumpaan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi lain. Terutama ideologi HTI, FPI, dan Salafi. Fenomena tersebut dianggap krusial terlebih menjadi perdebatan panas di media sosial (medsos).
Bagi sebagai ahli filsafat Muhammadiyah, perjumpaan ideologi dianggap berakibat pada pergeseran pola baru dalam tradisi sosial-keagamaan Muhammadiyah. Kemudian mencul istilah MuHTI (Muhammadiyah rasa HTI), MuFPI (Muhammadiyah rasa FPI), dan MurSal (Muhammadiyah rasa Salafi) dan sebagainya.
Pola-pola baru tersebut sedikit banyak mempengaruhi perubahan pola kesadaran ideologi dan kesolidan organisasi di kalangan penduduk Muhammadiyah.
Baca juga: Kisah Rukanah Bergulat dengan Nabi Muhammad
Pengamatan saya di jejaring medsos (grup WA, Facebook, Twitter, Instagram) nan berisi alias beranggotakan penduduk alias simpatisan Muhammadiyah, terlihat jelas pro-kontra menyikapi kejadian perjumpaan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi lain. Mulai dari perdebatan bersuara ilmiah-intelektual, hingga saling caci maki secara vulgar.
Setidaknya, ada dua perihal nan dapat dipetakan dari sikap dan pandangan penduduk Muhammadiyah nan tampak di medsos. Pertama, sikap cemas alias gelisah. Mereka nan mengalami secara riil di lapangan terhadap akibat nan ditimbulkan dari perjumpaan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi lain. nan madaratnya dianggap lebih banyak daripada manfaatnya.
Kemudaratan itu di antaranya adalah munculnya sikap membanding-bandingkan, apalagi ada kecenderungan menyalahkan pola dakwah Muhammadiyah dengan pola dakwah nan lain. Terutama dengan pola dakwah HTI-FPI dan Salafi.
Kondisi ini terkadang menyulut ketegangan antarsesama jamaah Muhammadiyah di lapangan. Padahal sebelumnya mereka sangat solid secara ideologis, pola dakwah, dan berorganisasi.
Kedua, sikap tidak mempermasalahkan namalain tidak khawatir. Sikap tersebut tampak dari beberapa komentar di medsos. Di mana persepsi nan sering bermunculan jika Muhammadiyah, HTI, Salafi adalah sama: berceramah untuk Islam.
Baca juga: Kecintaan Allah dan Turunnya Rasul
Semuanya adalah organisasi Islam nan dapat saling mengisi. Idiomnya, dakwah Muhammadiyah konsentrasi di sosial pendidikan, HTI di bumi politik, FPI di bumi pemberantasan kemaksiatan (nahi mungkar), dan Salafi pada penguatan ibadah dan akhlak.
Mereka nan mendukung pemahaman ini condong ikut mendukung terhadap aktivitas perjumpaan ideologi tersebut. Karena menganggap bagian dari dakwah Islam.
Di lapangan, banyak ditemukan penduduk Muhammadiyah lebih bangga dengan pola dakwah dan ustadz golongan ideologi lain, daripada pola dakwah dan ustadz Muhammadiyah.
Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius. Sebab tak menutup kemungkinan dapat menggerus ideologi dan pola dakwah Muhammadiyah. nan pada gilirannya dapat mengganggu “shaf ideologi” dan organisasi persyarikatan Muhammadiyah ke depan.
Yang menjadi kegelisahan dan pertanyaan, siapa nan semestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga ruh ideologi Muhammadiyah ketika terjadi perjumpaan dengan ideologi lain?
Saya tegas menyebut Majelis Tabligh. Mengapa?
Pertama, Majelis Tabligh berisi orang-orang nan sangat memahami karakter ideologi Muhammadiyah. Pengurus Majelis Tabligh biasanya orang-orang nan sudah lama aktif di Muhammadiyah. Kapasitas dan kualitas pemahaman dan penguasaan ideologi Muhammadiyah nan sangat kuat dan komperhensif.
Baca juga: Keutamaan Salat Di Masjid Bagi Perempuan, Berikut Penjelasan dan Dalilnya
Kedua, Majelis Tabligh berisi orang-orang nan mumpuni dalam penguasaan keilmuan Islam. Mereka sebagian besar berlatar pendidikan pesantren dan perguruan tinggi berbasis Islam. Mulai UIN/IAIN, Perguruan Tinggi Timur Tengah (Al Azhar University, ‘Ummul Qura’), FAI PTM dan sebagainya.
Dengan background tersebut menjadikan pengurus Majelis Tabligh mempunyai wawasan perkembangan pemikiran dan pergerakan bumi Islam. Termasuk penguasaan isu-isu aktivitas ideologi keagamaan kontemporer. Mulai ideologi aktivitas keagamaan liberal, radikal, fundamental, konservatif, moderat, tradisional dan sebagainya.
Baca juga: Literasi Digital dan Peran Tokoh Agama
Harapannya, pengurus Majelis Tabligh dapat menjelaskan dan mengartikan secara tepat situasi dan posisi ideologi aktivitas Muhammadiyah dengan aktivitas ideologi lain. Terlebih di tengah perjumpaan ideologi keagamaan kontemporer kepada jamaah Muhammadiyah. Sehingga, mereka dapat memahami secara utuh ideologi Muhammadiyah.
Ketiga, pengurus Majelis Tabligh sebagian besar penceramah (mubaligh) Muhammadiyah. Posisi mereka sangat strategis lantaran sering berjumpa menjadi narasumber. Bahkan menjadi pengasuh jamaah Muhammadiyah dalam forum ngaji alias kajian.
Saya bisa menyebut ada Ngaji Kitab, Ngaji Ahad Pagi, Khutbah Jumat dan sebagainya. Dapat diistilahkan jika Majelis Tabligh itu adalah “corong” alias “marketing” Muhammadiyah. Artinya, “Abang ijone Muhammadiyah” sangat terwarnai dari profil para mubaligh Muhammadiyah nan berada dalam naungan Majelis Tabligh.
Keempat, jaringan mubaligh nan dimiliki Majelis Tabligh sangat luas, menyebar hingga sampai pedoman rating Muhammadiyah. Jaringan itu terbentuk dalam wadah Korps Mubaligh Muhammadiyah (KMM) nan ada di pusat sampai ranting.
Pastinya, wadah Korps Mubaligh Muhammadiyah ini sangat strategis untuk dijadikan media pengkajian dan penguatan ideologi Muhammadiyah. (*)
Penulis : Dr. SHOLIHUL HUDA, M.Fil.I, sekretaris Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya