Madrasah Pertama: Misi Ibu Sebagai Penjaga Tauhid di Tengah Arus Globalisasi - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

 Misi Ibu Sebagai Penjaga Tauhid di Tengah Arus Globalisasi

UM Surabaya

*)Oleh: Imam Yudhianto S, SH, SE, SPd, MM
Pengamat Pendidikan, Ketua Komisi Nasional Pendidikan Magetan

Dalam sejarah peradaban, ibu selalu menjadi pilar utama yangg menentukan arah generasi. Tugas mulia ini menjadi semakin signifikan ketika menyangkut penanaman iktikad kepada anak sejak usia dini, sebuah tanggung jawab yangg tidak hanya berkarakter perseorangan tetapi juga kolektif dalam membangun masyarakat yangg bermartabat.

Ibu adalah madrasah pertama, tempat di mana nilai-nilai keagamaan ditanamkan, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yangg menjadikannya Yahudi, Nasrani, alias Majusi.” (HR. Muslim).

Strategi dalam menanamkan iktikad kudu dirancang dengan presisi, melibatkan pendekatan yangg komprehensif dan terintegrasi. Pendidikan berbasis pengalaman (experiential learning) dapat digunakan untuk membikin konsep tauhid lebih hidup dalam keseharian anak. Misalnya, ibu dapat membujuk anak mengawasi keelokan buatan Allah di alam alias mengenalkan konsep ketuhanan melalui cerita-cerita para nabi yangg penuh hikmah.

Prof. Dr. Abdullah Nashih Ulwan menegaskan bahwa proses internalisasi iktikad kudu melibatkan hati, akal, dan tindakan, sehingga anak memahami keagamaan bukan hanya sebagai konsep abstrak, tetapi sebagai bagian integral dari kehidupannya.

Namun, perjalanan ini tidak bebas dari tantangan. Globalisasi dan revolusi teknologi membawa beragam pengaruh yangg menakut-nakuti nilai-nilai spiritual. Media sosial sering kali menjadi arena yangg memperkenalkan style hidup materialistis, individualistis, dan apalagi nihilistis kepada anak-anak. Tantangan ini diperparah oleh kesibukan orang tua yangg sering kali mengandalkan pihak ketiga, seperti sekolah alias lembaga pendidikan, untuk menggantikan peran mereka.

Prof. Dr. H. Amin Abdullah, tokoh pendidikan Muhammadiyah, menyebut kejadian ini sebagai spiritual dislocation, di mana anak-anak kehilangan akar spiritual mereka akibat pola asuh yangg kurang terfokus pada nilai-nilai agama.

Solusi terhadap tantangan ini memerlukan pendekatan strategis yangg melibatkan seluruh aspek kehidupan. Ibu kudu menjadi penyedia utama dalam membangun lingkungan spiritual di rumah. Teknologi dapat dimanfaatkan secara positif untuk mendukung pendidikan akidah, seperti melalui aplikasi Islami alias konten multimedia yangg memotivasi anak untuk mendalami Al-Qur’an dan Hadis. Di sisi lain, penguatan literasi digital pada ibu menjadi perihal esensial agar bisa menyaring dan mengarahkan anak kepada konten yangg membangun. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah berkata, “Kehidupan berakidah kudu dimulai dari yangg kecil, dari keluarga, sebagai pusat pembelajaran pertama.”

Dampak dari keberhasilan penanaman iktikad sejak awal bakal terasa pada pembentukan karakter generasi yangg mempunyai resilience spiritual, integritas moral, dan kesadaran sosial yangg tinggi. Anak-anak yangg tumbuh dalam kerangka tauhid bakal menjadi perseorangan yangg tidak hanya kuat secara iman, tetapi juga bisa menjadi pemasok perubahan dalam masyarakat.

Mereka memahami bahwa tugas hidup mereka bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi juga untuk mempersiapkan kehidupan akhirat. Psikolog anak Muhammadiyah, Prof. Dr. Aisyiyah Nawawi, menyatakan bahwa internalisasi nilai-nilai iktikad sejak awal bakal menciptakan generasi dengan kestabilan emosional dan ketangguhan menghadapi dinamika zaman.

Namun, setiap proses kudu melalui pertimbangan yangg berkesinambungan. Orang tua, terutama ibu, kudu senantiasa mengukur sejauh mana nilai-nilai iktikad telah tertanam dalam kehidupan anak. Evaluasi ini dapat dilakukan melalui observasi perilaku, obrolan keluarga, alias apalagi konsultasi dengan pembimbing di sekolah. Jika ditemukan kekurangan, maka perbaikan kudu dilakukan segera, dengan tetap mengedepankan pendekatan kasih sayang dan komunikasi yangg efektif.

Akhirnya, angan masa depan terletak pada komitmen seluruh komponen masyarakat untuk mendukung peran ibu dalam mendidik generasi tauhid. Sebuah bangsa yangg besar tidak hanya memerlukan perseorangan yangg pandai secara intelektual, tetapi juga kokoh dalam akidah.

Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yangg seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yangg lemah, yangg mereka khawatirkan terhadap kesejahteraannya.” (QS. An-Nisa: 9). Ibu adalah penjaga generasi, penyemai sinar keimanan, dan pembangun menara tauhid yangg bakal menerangi jalan umat menuju kejayaan.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

-->
Sumber majelistabligh.id
majelistabligh.id