Lupa Dan Konsekuensi Hukumnya Dalam Puasa Ramadhan
Oleh: Khairil Azmi Nasution, M.A
Dosen Fahum UMSU/Sekretaris Mejelis Tarjih Dan Tajdid PWM Sumatera Utara Dalam KBBI Lupa adalah Lepas dari ingatan, tidak dalam Pikiran, tidak teringat, tidak sadar. Lupa adalah salah satu kata yangg umum yangg memilik dua makna, yangg pertama meninggalkan sesuatu lantaran tidak sengaja, tidak sadar , kelalaian, yangg berlawanan dengan ingatan dan hapalan, yangg kedua meninggalkan sesuatu dengan sengaja dan sadar, ketidak pedulian seperti yangg terdapat dalam firman allah :
نَسُواْ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمۡ
“Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka”, ( At taubah :67).
ٱلۡيَوۡمَ نَنسَىٰكُمۡ كَمَا نَسِيتُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَا
“Pada hari ini Kami melupakan Anda sebagaimana Anda telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini. Tempat kembalimu hanyalah neraka dan sama sekali tidak ada penolong bagimu.”( Al -Jatsiah :33).
فَنَسِيتَهَاۖ وَكَذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمَ تُنسَىٰ
“lalu engkau mengabaikannya. Begitu (pula) pada hari ini engkau diabaikan”. ( Thaha : 126) Lupa dalam pengertian tema tulisan ini adalah Lepas dari ingatan, tidak dalam Pikiran, tidak teringat, secara teknis lupa adalah suatu masalah / penderitaan yangg terjadi pada seseorang alias sebuah makna emosional yangg mengganggu ingatannya tanpa pilihannya sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk mengingat sesuatu pada saat dibutuhkan.
Jumhur ustadz beranggapan bahwa makan dan minum dengan sengaja ketika puasa Ramadhan merupakan perbuatan dosa yangg menyebabkan puasanya batal, dan dia wajib mengganti puasanya di hari lain. Hanya saja para ustadz berbeda pendapat dalam masalah orang yangg batal puasanya dikarenakan lupa (نَاسِيًا), Apakah puasanya batal dan diwajibkan qadha' alias tidak.
Pendapat umum para sahabat, ustadz salaf dan mujtahid setelah mereka, bahwa orang yangg lupa ( ناسيا ) makan alias minum dan melakukan perbuatan yangg membatalkan puasa tidak berdosa, tidak ada tanggungjawab untuk mengqadha' puasanya, tidak juga kafarat, iya hanya tetap melanjutkan, menyempurnakan puasanya.
Argumatasi pendapat ini, yangg pertama berasas keumuman ayat dalam surah Al Baqarah 286 :
ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau norma kami jika kami lupa alias kami bersalah”. ( Al Baqarah : 286 )
Dalam Majmu’ul Fatawa diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Allah berfirman
sebagai jawaban atas angan ini : ” قد فعلت وفي رواية قال: نعم “. “Aku telah melakukannya, dan dalam
sebuah riwayat Dia berfirman: Ya”.
Kemudian pendapat ini dikuatkan berasas dari sabda dari Abu Khurairah
-عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا
أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berfirman Barang siapa yangg lupa dalam keadaan berpuasa, lampau dia makan dan minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya, lantaran sesungguhnya Allah-lah yangg telah memberinya makan dan minum." (HR. Bukhari).”
Hadits ini menjadi dalil bahwa orang yangg makan dan minum dalam keadaan lupa ( ناسيا ), maka puasanya tetap sah, tidak ada kekurangan, tidak ada dosa baginya dan tidak ada tanggungjawab untuk mengganti puasanya, lantaran tidak ada niat dan kehendak untuk itu, dia tidak mempunyai kendali atasnya bakal tetapi perihal itu adalah rezeki dari Allah, lantaran menyandarkan makan dan minumnya dari Allah, maka seorang hamba tidak diminta pertanggungjawaban atas perihal itu, lantaran dia melakukaknnya diluar kehendaknya, , dan tidak ada perbedaanya antara makan dan minum dalam keadaan sedikit maupun banyak, berasas keumuman hadist. Kemudian tidak ada pembebanan norma baginya berasas sabda nabi :
-قال النبي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“ Allah telah mengampuni umatku dari kesalahan, kelupaan, dan apa yangg terpaksa mereka lakukan.” (HR Al-Bukhari).
Kemudian sabda dari abu salamah Bin Abdurrahman :
مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَارَةَ
“Barang siapa yangg berbuka pada bulan Ramadhan lantaran lupa maka tidak ada (kewajiban) qadha baginya, tidak juga kafarat.” (HR Hakim)
Hadis dari Abu Hurairah :
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي أَكَلْتُ وَشَرِبْتُ نَاسِيًا وَأَنَا صَائِمٌ ؟ فَقَالَ
اللهُ أَطْعَمَكَ وَ سَقَاكَ
“Dari Abu Hurairah Raḍiyallahu 'anhu, Seorang laki-laki datang kepada Nabi ṣallallāhu alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, Sesungguh saya makan dan minum dalam keadaan lupa padahal saya sedang berpuasa ?" Beliau bersabda, "Allah telah memberimu makan dan minum” (HR al-Bukhari).
Berdasarkan dalil dalil tersebut maka semua yangg membatalkan puasa dapat dianalogikan dengan makan, minum, berbuka lantaran lupa ( ناسيا ) alias melakukan salah satu yangg membatalkan puasa, tidak ada dosa baginya, tidak ada tanggungjawab mengganti puasanya dan tidak ada kafarat baginya dan kudu meneruskan puasanya. Ini merupakan bukti bahwa orang yangg berpuasa jika makan alias minum lantaran lupa ( ناسيا
), maka puasanya tetap sah dan tidak batal, lantaran perintah “ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ “ (untuk menyempurnakan puasanya) menunjukkan bahwa dia betul-betul berpuasa, dan diperintahkan untuk menyempurnakan puasanya, lantaran jika dia berbuka, maka tidak dapat disebut menyempurnakan puasanya, dan jika dia berbuka, maka tidak dapat disebut puasa, inilah perbedaan antara yangg disengaja dan orang yangg lupa ( ناسيا ). Seandainya qadha dan kaffarah itu wajib, niscaya Rasullah bakal memerintahkan untuk melaksanakan mengganti puasanya.
Dalam kata : فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (Karena Allah yangg memberi makan dan minumnya) ini merupakan dalil sahnya puasanya, lantaran perihal ini menunjukkan bahwa perbuatan orang yangg lupa ( ناسيا ) tidak dinisbatkan kepadanya, lantaran dia tidak mempunyai andil di dalamnya, dan tanggung jawab norma tidak dinisbatkan kepadanya. Makan dan minum yangg disebutkan dalam hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada keduanya dan dikecualikan dari yangg lainnya, oleh lantaran itu, termasuk jima' ( hubungan suami istri) di dalamnya, lantaran dia sama dengan makan dan minum, ialah Perbuatan yangg membatalakn puasa dan meninggalkannya adalah rukun dari puasa, menurut pendapat yangg rajih, berasas hadist riwayat al-Hakim dan yangg lainnya dengan lafazh”
مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا
(Barangsiapa yangg berbuka di bulan Ramadhan lantaran lupa.. ) ini menegaskan termasuk jima' ( hubungan suami istri) dalam pengertian keumuman lafaz أَفْطَرَ ( berbuka).
Hal ini menunjukkan bahwa sabda ini tidak terbatas pada keduanya saja, tidak terbatas pada ibadah puasa saja, bakal tetapi mengandung keluasan yangg sangat besar dalam perihal keabsahan ibadah yangg diharamkan dalam corak kelupaan ( ناسيا ) . Tidak ada yangg dikecualikan darinya, peralatan siapa yangg berbuka dalam keadaan lupa ( ناسيا ), maka puasanya sah dan sempurna, dan peralatan siapa yangg shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya sah , tidak batal, perihal ini sesuai dengan kaidah
فِعْلُ المَحْظُورِ فِي العِبَادَةِ عَلَى وَجْهِ النِّسْيَانِ لَا يُخِلُّ
” Melakukan apa yangg dilarang dalam ibadah lantaran lupa tidak membatalkannya. Oleh lantaran itu, Al-Hasan dan Mujahid berkata, ” Orang yangg berjima hubungan suami istri dalam keadaan lupa, maka tidak ada dosa baginya” Meskipun jima’ berbeda dengan makan dan minum, lantaran jima' itu jarang terjadi dibandingkan dengan makan dan minum, bakal tetapi dalam sebagian riwayat disebutkan مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ ( peralatan siapa yangg berbuka di bulan Ramadhan), lantaran berbuka itu lebih umum dibandingkan dengan makan, minum, dan jima' ( hubungan suami istri), bakal tetapi makan dan minum dikhususkan pada riwayat yangg lain, lantaran lebih sering terjadi.
Dalil ini menunjukan bahwa puasanya tetap utuh, lantaran lupa ( ناسيا ) itu berasal dari Allah, dan merupakan salah satu perbuatan yangg dibutuhkan, maka tanggungjawab norma dan konsekuensinya tidak dinisbatkan kepada pelakunya, ialah tidak dimintai pertanggungjawaban atas perihal tersebut. Sedangkan ustadz Malikiyah menolak pengaplikasian pemahaman riwayat tersebut, lantaran mempunyai argumen yangg sia-sia, dan tidak mengandung kebenaran. Imam Malik dan Mazhab Maliki beranggapan bahwa orang yangg makan alias minum secara tidak sengaja alias lupa ( ناسيا ), kudu melakukan qadha pada puasanya dan mewajibkan untuk beristighfar alias bertaubat, perihal ini dikarenakan bahwa makan dan minum merupakan perbuatan yangg membatalkan puasa. Hal ini berasas Firman Allah :
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِ
“Dan makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam ialah fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam." ( Al Baqarah: 187).
Makna ayatnya memerintahkan untuk menahan diri dari berbuka sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, kemudian menyempurnakannya hingga terbenamnya matahari. Orang yangg berbuka dalam keadaan lupa, maka puasanya menjadi batal lantaran karena hilangnya rukun, yaitu menahan diri, maka hukumnya sama dengan orang yangg sengaja, oleh lantaran itu, orang yangg berbuka di bulan Ramadan lantaran lupa, maka wajib mengqadha' puasanya. Kemudian menurut Imam Malik bahwa hadist yangg mengatakan :
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Hendaklah dia menyempurnakan puasanya lantaran Allah telah memberinya makan”. ( HR. Bukhari)
Bahwa sabda ini tidak menyebut tidak adanya tanggungjawab qadha alias mengganti puasanya, yangg ada hanya menegaskan bahwa dia kudu menyempurnakan puasanya dan tidak ada dosa baginya, maskudnya disempurnakan puasanya dengan mengantinya di hari lain dan perbuatannya tidak ada dosa baginya. Dan meraka berpegang kepada sabda :
ثَلَاثٌ لَا يُفَطِّرْنَ الصَّائِمَ: الحِجَامَةُ، وَالقَيْءُ، وَالِاحْتِلَامُ
” Tiga perihal yangg tidak membatalkan puasa: Diafragma, muntah, dan mimpi basah” ( HR. Muslim)
Maka tampak dari hadits tersebut bahwa selain dari tiga pengecualian tersebut, hal-hal lainnya adalah pembatal puasa, termasuk di dalamnya adalah lupa dan tidak sengaja. Dan berasas sabda dari Abu Hurairah
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ»
“Barang siapa yangg berbuka pada suatu hari di bulan Ramadan tanpa ada udzur alias sakit, maka tidak ada qadha' (pengganti) baginya, meskipun dia berpuasa.”
Implikasi dari sabda ini adalah bahwa peralatan siapa yangg berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan lantaran lupa ( ناسيا ), maka dia wajib mengqadhanya”, ialah mengganti puasanya di hari yangg lain. Mazhab maliki menganalogikan bahwa perbuatan yangg membatalkan puasa dalam keadaan sakit, tetap tanggungjawab berpuasa diwajibkan atas orang sakit, meskipun sakit dapat menjadi ruksah untuk membatalkan puasanya tapi tetap wajib untuk mengganti puasanya, maka atas orang yangg lupa ( ناسيا ) lebih diwajibkan untuk mengqadha` puasanya .
Alasan ini dibantah, lantaran adalnya dalil unik yangg menjelasakan bahwa makan dan minum yangg dilakukan dikarenakan lupa ( ناسيا ) adalah sah. Oleh lantaran itu, krusial untuk dipertimbangkan, bahwa perbuatan yangg membatalkan puasa seperti makan, minum dan lainya, jika lantaran lupa ( ناسيا ), maka puasanya tetap sah
Imam Ibnu Hazm beranggapan dalam kitab al-Muhalla bahwa Pendapat Mazhab Maliki ” Wajib bagi orang yangg lupa untuk qadha puasanya” tidak diketahui adanya hujjah yangg unik dalam pendapatnya, selain beliau memahami bahwa "Makan, minum dan hubungan suami istri merupakan perbuatan yangg membatalkan puasa” Sementara menurut beliau bahwa makan dan minum itu tidak membatalkan shalat jika terjadi lantaran lupa, maka tampaklah pertentangan argumentasinya, maka menurut Ibnu Hazm bahwa makan, minum, jima’ (hubungan suami istri) dikarenakan lupa ( ناسيا ) tidak membatalkan puasa.
Sebagian ustadz Syafi’iyyah beranggapan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa dapat membatalkan puasa, meskipun ada terdapat perbedaan pendapat mengenai makna banyak dalam perihal ini, meskipun ustadz Syafi'iyyah sepakat bahwa sedikit saja tidak membatalkan puasa orang yangg lupa bakal tetapi kebanyakan ustadz Syafi'iyyah sepakat untuk menyamakan antara sedikit dan banyak.
Dari dalil dan argumentasi yangg sudah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa kebanyakan ustadz beranggapan bahwa orang yangg berbuka seperti makan, dan yangg lainnya dikarena lupa ( ناسيا ), maka puasanya tetap sah, dia kudu meneruskan, menyempurnakan puasanya dan tidak ada tanggungjawab untuk mengganti puasanya dan kafarat baginya. Hal itu terjadi lantaran perbuatan mukallaf yangg tidak disengaja, oleh lantaran itu, yangg menjadi pertimbangan hukumnya adalah niatnya, seandainya dia beriktikad untuk berbuka, niscaya bakal dinisbatkan kepadanya. (***)