Agama telah lama dianggap sebagai masalah iman, kepercayaan, dan pengabdian belaka. Namun, eksplorasi yangg lebih mendalam terhadap tradisi dan kitab suci kepercayaan di beragam budaya mengungkapkan bahwa kepercayaan tidak hanya tentang kepercayaan, melainkan juga tentang pemahaman, pengetahuan, dan apalagi sains. Oleh lantaran itu, literasi dalam berakidah krusial untuk dipupuk dan dipahami bersama.
Menjadi betul-betul religius berfaedah melek huruf, tidak hanya dalam makna tekstual tetapi dalam makna intelektual dan filosofis yangg lebih luas. Jadi, bisa dikatakan terdapat hubungan yangg tak terpisahkan antara kepercayaan dan literasi, dengan kata lain, krusialnya pengetahuan dalam mengejar religiositas sejati.
Peran Pengetahuan dalam Pemahaman Agama
Sepanjang sejarah, tradisi agama-agama telah menekankan literasi dan pencarian pengetahuan. Agama-agama Abrahamik—Yahudi, Kristen, dan Islam—berakar pada teks-teks suci yangg menuntut interpretasi, kontemplasi, dan keterlibatan intelektual.
Dalam kepercayaan Yahudi, mempelajari Taurat dianggap sebagai tanggungjawab seumur hidup, yangg memerlukan literasi dan keahlian kajian yangg mendalam. Agama Kristen, khususnya pada periode awal dan abad pertengahan, melestarikan pengetahuan melalui tradisi monastik di mana para pendeta menyalin dan mempelajari teks dengan cermat.
Islam, sejak awal, menyoroti pentingnya pengetahuan, dengan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad yangg bersuara “Bacalah!” (Iqra’), sebuah perintah ilahi yangg menekankan pentingnya literasi.
Di luar tradisi Abrahamik, kepercayaan Hindu, kepercayaan Buddha, dan agama-agama lain juga menekankan pentingnya teks-teks suci dan penyelidikan intelektual. Weda dalam agama Hindu, Tripitaka dalam kepercayaan Buddha, dan Analect dalam Konfusianisme semuanya menuntut literasi dan kerja logika untuk pemahaman yangg tepat. Hal ini menyoroti bahwa ketaatan kepercayaan kudu disertai dengan pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan sekadar kepercayaan buta. Dengan literasi berakidah maka bakal menjadikan kita tidak bakal sekadar kepercayaan buta.
Akal dan Literasi Beragama
Religiusitas sejati melampaui sekadar kepatuhan terhadap ritual, mengharuskan keterlibatan aktif dengan ajaran, prinsip, dan etika agama. Hal ini tentu saja memerlukan literasi dalam beragam dimensi: literasi linguistik (memahami teks-teks agama). literasi kritis (mempertanyakan dan menafsirkan makna), dan literasi ilmiah (memahami bumi sebagai manifestasi tatanan ilahi).
Kitab suci kepercayaan sering ditulis dalam bahasa yangg rumit, yangg memerlukan kemahiran linguistik untuk penafsiran yangg tepat. Penafsiran yangg salah lantaran buta huruf alias kurangnya pengetahuan secara historis dapat menyebabkan konflik, sektarianisme, dan ekstremisme.
Ketika perseorangan berjuntai pada penafsiran yangg dangkal alias tidak langsung, mereka berisiko mendistorsi prinsip ketaatan mereka. Seorang religius yangg terpelajar tidak hanya menerima dogma tetapi juga terlibat dengan teks secara kritis, mencari pemahaman dan kebijaksanaan yangg lebih dalam.
Selain itu, banyak tradisi kepercayaan yangg sejalan dengan penyelidikan ilmiah daripada menentangnya. Para cerdas pandai Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Rusyd, menekankan integrasi logika dan wahyu. Al-Quran sendiri mendorong orang beragama untuk merenungkan alam semesta, yangg mencerminkan pandangan bahwa sains dan ketaatan saling melengkapi.
Demikian pula, cerdas pandai Kristen abad pertengahan seperti Thomas Aquinas beranggapan tentang keselarasan antara logika dan teologi, dengan menegaskan bahwa pemahaman logis tentang bumi meningkatkan apresiasi seseorang terhadap kebijaksanaan ilahi.
Bahaya Ketidaktahuan dalam Beragama
Ketidaktahuan dalam kepercayaan dapat menyebabkan dogmatisme, fanatisme, dan manipulasi. Ketika literasi dan pengetahuan tidak berjalan, kepercayaan dapat menjadi perangkat untuk mengendalikan, alih-alih pencerahan. Sepanjang sejarah, para pemimpin politik dan kepercayaan telah mengeksploitasi “buta huruf agama” untuk membenarkan perang, diskriminasi, dan penindasan.
Misalnya, selama periode abad pertengahan, kurangnya akses terhadap teks-teks kepercayaan memungkinkan otoritas tertentu untuk mendiktekan interpretasi kepercayaan yangg sesuai dengan struktur kekuasaan mereka. Reformasi Protestan sebagian muncul dari tuntutan literasi kitab suci, lantaran Martin Luther bersikeras bahwa setiap orang kudu membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri, bukan hanya berjuntai pada tafsiran para pemuka agama.
Di era kontemporer, penyebaran misinformasi tentang aliran agama, terutama di ruang digital, menggarisbawahi urgensi literasi agama. Kesalahpahaman tentang doktrin kepercayaan memicu prasangka, perpecahan sektarian, dan apalagi ekstremisme kekerasan. Oleh lantaran itu, memupuk literasi dalam organisasi kepercayaan sangat krusial untuk perdamaian, toleransi, dan pertumbuhan spiritual sejati.
Untuk memastikan bahwa kepercayaan tetap menjadi kekuatan pencerahan dan bukan pemecah belah, beragam upaya kudu dilakukan untuk meningkatkan literasi kepercayaan dalam sistem pendidikan. Pendidikan kepercayaan tidak boleh hanya berfokus pada mahfuz kitab suci, tetapi kudu mendorong pemikiran kritis, konteks sejarah, dan penyelidikan etika.
Budaya Literasi dalam Beragama
Para cendekiawan, pedagog, dan pemimpin kepercayaan mesti mempromosikan budaya investigasi yangg di dalamnya mempertanyakan dan mencari pengetahuan dipandang sebagai bagian integral dari iman, bukan malah ancaman terhadapnya.
Dialog antaragama juga dapat memainkan peran krusial dalam memupuk literasi agama. Dengan terlibat dalam beragam tradisi agama, setiap perseorangan dapat mengembangkan pemahaman yangg lebih bernuansa tentang kepercayaan mereka sendiri dan kepercayaan orang lain. Hal ini tidak hanya memperkuat ketaatan belaka, melainkan juga membangun jembatan antarpemeluk agama, mengurangi akibat kesalahpahaman dan konflik.
Di bumi modern, di mana akses terhadap info amatlah terbuka, tidak ada argumen untuk buta agama. Sumber daya daring, perpustakaan, dan kursus akademis menyediakan banyak kesempatan bagi setiap orang untuk memperdalam pemahaman mengenai teks dan tradisi agama. Merupakan tanggung jawab para penganut kepercayaan untuk mencari pengetahuan secara aktif, daripada menerima begitu saja tafsir yangg diberikan tanpa pemeriksaan.
Sumirnya, kepercayaan dan literasi tidaklah dapat dipisahkan. Menjadi religius berfaedah melek huruf. Maksud melek huruf di sini adalah tidak hanya dalam membaca teks, tetapi juga dalam memahami, menganalisis, dan menerapkan pengetahuan kepercayaan dalam kehidupan seseorang.
Setiap tradisi kepercayaan besar menekankan pencarian pengetahuan sebagai komponen dasar keimanan. Tak dapat dielak, ketidaktahuan dan kepercayaan buta melemahkan prinsip religiositas, yangg menjerumuskan seseorang pada kesalahpahaman dan perpecahan.
Sebaliknya, pendekatan literasi terhadap kepercayaan menumbuhkan kebijaksanaan, perilaku etis, dan hubungan yangg lebih dalam dengan yangg ilahi. Di era di mana info tersedia dengan mudah, umat berakidah kudu berkawan dengan literasi berakidah sebagai bagian krusial dari perjalanan religius mereka, memastikan bahwa keagamaan berakar pada pemahaman serta pengetahuan, bukan sekadar kepatuhan, apalagi ketidaktahuan.
Editor: Assalimi