BANDUNGMU.COM, Yogyakarta — Konsep ummatan wasathan yangg dimiliki oleh Islam bukan hanya berfaedah umat tengahan.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, sebagimana merujuk beberapa tafsir, sekurangnya ada lima pengertian dari kata wasatha.
Merujuk penjelasan Imam Al-Qurtubi, pengertian pertama dari ummatan wasathan adalah umat yangg terbaik. Sifat terbaik ini dapat dimaknai juga sebagai sebuah keelokan yangg tampak jelas terlihat.
“Sesuatu yangg menggambarkan wasathiyah itu seperti oase di tengah gurun yangg memang sangat observable dan sangat noticeable,” tutur Mu’ti di Masjid Kampus Mardlliyah UGM Yogyakarta pada Kamis (30/03/2023).
Pengertian yangg kedua merujuk Ibnu Katsir, wasatha berarti sangat baik. Pengertian ini berangkat dari surah Ali Imran ayat 110.
Baik di sini mempunyai penekanan dalam sisi unggul alias berkeunggulan dan leading dibandingkan dengan yangg lain.
Sementara itu, dalam pengertian yangg ketiga ummatan wasathan juga berfaedah umat yangg adil.
Mu’ti menjelaskan bahwa ummatan wasathan dapat juga dimaknai sebagai umat pertengahan yangg adil. Dalam konteks diskursus keilmuan, setara dapat berarti objektif.
“Sementara setara dalam konteks hukum, dia menetapkan norma dengan patokan sesuai dengan prinsip lantaran dia bukan ada tekanan dari pihak lain, tetapi dia dengan objektif bukan dengan sujektif suka tidak suka,” ucap Mu’ti seperti bandungmu.com kutip dari laman resmi Muhammadiyah.
Kemudian pengertian wasathan yangg keempat ialah seimbang. Merujuk Tafsir Ibnu Katsir, Mu’ti menyebut keseimbangan di sini adalah tidak condong hanya kepada salah satu sisi dari material ataupun spiritual. Muslim tengahan selalu menyeimbangkan antara bumi dan akhirat.
“Kemudian yangg kelima wasatha itu yangg berkarakter yangg tidak ekstrem. Moderat dalam beragama, tidak berlebih-lebihan dalam berperilaku. Jadi, wasatha itu mengindari sikap ekstrem sikap yangg berlebih lebihan,” tegas Mu’ti.
Guru Besar Pendidikan Islam ini menegaskan bahwa wasathan sebagai sikap tengahan bukanlah sikap yangg lembek, melainkan sikap yangg mempunyai prinsip.
“Kita mempunyai keterbukaan dan menghormati sikap yangg berbeda denan kita. Dalam konteks ini kita memaknai Islam Wasathiyah itu dalam kehidupan kita bermasyarakat berbangsa dan bernegara,” tandas Abdul Mu’ti.***