MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam pernah menjadi pusat wacana keilmuan. Namun saat ini, umat Islam berada dalam posisi nan memprihatinkan. Dalam upaya membangun kembali tradisi keilmuan, Muhamad Rofiq Muzakkir menguraikan lima kelemahan kesarjanaan Islam kontemporer. Kelima poin ini diambil dari Jasser Auda dalam kitab nan berjudul Re-envisioning Islamic Scholarship: Maqasid Methodology as a New Approach.
Pertama, imitasi (taqlid). Auda membujuk para sarjana Islam kontemporer untuk berani memposisikan karya-karya intelektual Islam terdahulu sebagai mitra diskusi, bukan standar referensi. Setidaknya terdapat tiga implikasi dari imitasi: 1) Absennya pemahaman mengenai etika perbedaan pendapat, lantaran tidak berani berbeda dengan pendahulu; 2) Mengabaikan normativitas wahyu sebagai kriteria kebenaran ilmu; dan 3) Hilangnya paradigma kritis terhadap sejarah Islam.
Menurut Rofiq, pandangan Auda di atas memperlihatkan dirinya sebagai seorang revisionistik sejati. Seorang revisionis selalu membujuk untuk kembali melakukan interpretasi ulang terhadap Al Quran dan Al Sunah, tanpa kudu terbebani pemikiran dari masa lampau. Sayangnya, kalangan revisionis ini tidak selalu menampilkan turast sebagai sumber inspirasi, apalagi seringkali mereka tidak memberikan apresiasi nan memadai.
Kedua, parsialisme (tajzi). Salah satu kontributor utama pemikiran parsialistik dalam Islam serta pemikiran manusia secara lebih luas adalah adanya batas keilmuan nan terlalu sempit dan over-specialism. Misalnya, krisis pandemi Covid-19 hanya dapat didekati melalui lensa medis murni dan berbasis farmasi. Padahal, akibat dari pandemi tidak hanya kesehatan, namun juga politik, sosial, ekonomi, psikologi, pendidikan, dan lain-lain.
Selain itu, pemikiran parsialistik telah sangat diperkuat oleh budaya digital. Mereka saling berbagi info nan terfragmentasi dan terlalu disederhanakan. Membaca pemikiran nan kompleks dalam sebuah tweet nan singkat, menyimak pendapat besar hanya dalam potongan video pendek, dan lain-lain.
“Fenomena ini mengurangi rentang konsentrasi pada suatu pendapat dan pemikiran. Akibatnya, banyak remaja muslim nan tidak bisa membaca kitab nan berbobot dengan intensitas waktu nan lebih panjang,” ucap personil Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini di Universitas Muhammadiyah pada Sabtu (11/03).
Ketiga, apologisme (tabrir). Para apologis tetap meyakini bahwa Islam mempunyai seperangkat pandangan hidup nan komprehensif. Namun, secara tidak sadar, mereka sekadar menampilkan ketundukan pada realitas kontemporer, tanpa visi islami. Terkadang dengan memberikan sentuhan islami pada bagian permukaan, tetapi secara substansial isinya tetap berpijak pada dugaan Barat sekuler.
Keempat, pertentangan (tanaqud). Tidak sedikit sarjana Islam kontemporer menggunakan sumber-sumber pengetahuan nan kontradiktif. Auda, kutip Rofiq, menyebut kejadian ini sebagai epistemological schizophrenia: ialah menggabungkan sumber-sumber pengetahuan nan berasal dari pandangan bumi nan berbeda.
Kelima, dekonstruksionisme (tafkik). Dekonstruksionisme dalam disiplin pengetahuan tidak muncul dari landasan epistemologi Islam melainkan dari langkah pandang post-modernisme. Menurut ROfiq, sebagai proyek untuk mengkritisi pemikiran modern, makulat post-modernisme mengembangkan pemikiran anti otoritas dan kemapanan, delegitimasi, desentralisasi.
Tujuan akhir dari proyek filosofis dekonstruksionis adalah untuk menghilangkan otoritas Firman Tuhan itu sendiri. Contoh dari proyek dekonstruksionisme adalah adanya identitas kelamin di luar laki-laki dan wanita alias nan biasa disebut dengan queer. Biasanya, queer adalah istilah umum nan digunakan untuk orientasi dan organisasi bagi mereka nan ada di dalam spektrum LGBT.
Itulah daftar lima kelemahan kesarjanaan Islam kontemporer menurut Jasser Auda nan dikutip Rofiq. Identifikasi kelemahan ini merupakan upayanya untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam dengan memposisikan Al-Qur’an dan al-Sunah sebagai sumber pengetahuan pengetahuan tertinggi. Ketiadaan rujukan langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah nan dilakukan sebagian besar sarjana Islam kontemporer sebagai standar dan dasar kritik adalah perihal nan ironi.
Hits: 0