Belajarlah pada sejarah, maka kita tidak bakal pernah jatuh pada lubang nan sama. Pernyataan ini memang betul adanya. Karena kita sendiri sebagai umat Islam sebenarnya sudah ditunjukkan pelajaran itu secara langsung oleh Allah SWT, tapi tetap banyak nan belum menyadari.
Pelajaran itu ada di Alquran. Bukankah Alquran nan kita baca berisi 30 juz, dan dari 30 juz itu, sebagian besar kontennya bukan soal ibadah alias soal norma syar’i, tetapi juga tentang sejarah? Mulai sejarah Nabi Adam As, Nabi Nuh, hingga Nabi Musa As.
Benarkah? Coba dibaca ulang. Nah, ini artinya Allah SWT sebenarnya mengingatkan kita sungguh pentingnya belajar sejarah. Bahkan sejarah mencatat, banyak negara hancur setelah mencoba melupakan sejarah. Lihatlah Turki nan dulu jadi negara super power bumi di bawah payung Turki Utsmani.
Mari kita giat belajar sejarah. Misalnya, sejarah aktivitas pembaruan Islam di Indonesia ini. Biar kita tahu alur gerakannya dari awal sehingga kita bisa memetakan dengan betul dan tidak salah paham. Termasuk sejarah Muhammadiyah?
Hakikat Muhammadiyah itu apa? Mengapa kudu lahir dan berdiri? Ini hanya sebagian mini dari potongan sejarah. Kita turunkan potongan-potongan tulisan ini dan angan saya kelak menyingkap tabir, menjadi puzzle, menjawab pertanyaan besar nan selama ini menjadi misteri. Paling tidak, kita bakal tahu sejatinya aktivitas pembaruan Islam di Tanah Air?
Sekadar diketahui, aktivitas tajdid alias aktivitas modernisasi alias aktivitas pembaruan dalam Islam itu muncul sebagai corak respons bumi Islam atas keterpurukan akibat kolonialisme bangsa barat.
Dan apa nan terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari keterbelakangan bumi Islam pada umumnya. Di mana, Indonesia sebagai wilayah kebanyakan muslim mengalami nasib sama: dijajah bangsa Barat.
Apalagi sejak Daulah Turki Utsmani sebagai tembok terakhir umat Islam bumi kalah dalam perang bumi pertama, 1918 M, wilayah-wilayah Islam semakin tidak berkekuatan bak jadi kue rebutan jajahan negara-negara Barat.
Hampir semua wilayah Islam dijajah bangsa Barat. Mulai wilayah paling barat benua Afrika, ialah Maroko, hingga wilayah timur seperti Indonesia.
Sesuai referensi nan ada, wilayah Maroko, Aljazaer, Tunisia, Libya, Libanon, dan Suriah dijajah Perancis. Sementara Mesir, Jazirah Arab, Yaman, Irak, Iran, Afghanistan, India, apalagi Malaka, dan Brunei dijajah Inggris.
Sedang Kaukasia, Armenia, Turkmenistan, Tajikistan, Kazastan, dan lain-lain menjadi jajahan Uni Sovyet (Rusia). Ada pun wilayah Malaka dijajah Portugis dan Inggris, dan Indonesia dijajah Belanda.
Itulah gambaran nasib bumi Islam, kala itu. Dan praktik kolonialisme tersebut bukan hanya terjadi satu-dua tahun, tetapi berjalan hingga ratusan tahun lamanya.
Indonesia sendiri dijajah hingga 350 tahun oleh Belanda. Selama ratusan tahun itu, wilayah Islam terpuruk akibat invasi politik, kultural, dan intelektual bumi Barat, apalagi agama.
Apalagi, mereka dalam menjajah mempunyai semboyan 3 G, ialah Gold, Glory, dan Gospel. Akibatnya, bumi Islam bukan hanya dikuras kekayaannya, tetapi juga dikuasai secara politik dan intelektual tanpa daya.
Tak hanya itu, umat Islam juga sengaja dijauhkan dari aliran Islam nan betul oleh kolonialis dengan menyuburkan praktik-praktik tahayul, khurafat, berbau kemusyrikan.
Sehingga orang Islam menjadi lebih senang pergi ke dukun, datang ke tempat-tempat keramat seperti pohon dan sejenisnya untuk bisa sigap mendapatkan kenikmatan bumi daripada datang ke masjid menjalankan aliran Islam dengan benar.
Inilah nan membikin bumi Islam semakin susah maju. Hal itu memang sengaja diciptakan negara penjajah. Menjadikan wilayah jajahannya menjadi bangsa tidak berdaya, bodoh, dan miskin.
Sehingga bisa semakin diperdayai untuk bisa melanggengkan jajahannya hingga ratusan tahun lamanya. Itu juga nan dialami bangsa Indonesia hingga 350 tahun.
Akibatnya, kehadiran kolonialis betul-betul telah menumbuhkan penyakit akut di masyarakat. Bukan hanya bagian sosial dan politik, tapi juga perilaku keagamaan dan pemikiran di bumi Islam.
Bahkan, umat Islam menjadi jauh dari aliran sesungguhnya berdasarkan Alquran dan Sunah, malah lebih suka dengan praktik-praktik klenik, tahayul, dan khurafat nan menjurus kepada kemusyrikan.
Dan itu berjalan cukup lama, hingga ratusan tahun lamanya. Tentu itu bisa dibayangkan kondisi umat Islam nan memprihatinkan, kala itu.
Gerakan Modernisasi
Tapi untungnya, di akhir abad 18 dan awal abad 19, sejumlah tokoh muslim seperti Jamaluddin Al-Afghani di India dan Muhammad Abduh di Mesir mulai sadar untuk bangkit meski sangat terlambat.
Mereka melakukan aktivitas modernisasi, menumbuhkan ghirah keilmuan di kalangan umat Islam dan membujuk umat Islam kembali kepada Alquran dan hadis. Karena hanya dengan itu, umat Islam bisa maju dan kembali berdaya.
Gerakan modernisasi ini akhirnya merembet jadi aktivitas perjuangan melawan kolonialis merebut kemerdekaan. Tak hanya di wilayah Mesir dan Timur Tengah, di sejumlah wilayah Islam lainnya seperti India pun bermunculan tokoh modernis (pembaharu) muslim.
Dampak aktivitas modernisasi di Timur Tengah jadi virus efektif nan terus menyebar ke beragam wilayah Islam lainnya. Bahkan aktivitas pembaruan itu secara perlahan memberikan pengaruhnya di Indonesia.
Gagasan Pan-Islamisme alias persatuan umat Islam nan dicetuskan Jamaluddin Al-Afghani dipahami baik para tokoh aktivitas pembaruan di Indonesia.
Bahkan aktivitas pembaruannya berdampak. Bukan hanya bisa memotivasi bangsa Indonesia untuk menghadirkan semangat baru dalam berpolitik, tapi juga membangun pendidikan lebih bergerak sesuai tuntutan zaman.
Dan akhirnya merembet lebih luas pada kebutuhan bernegara dan berbangsa dengan munculnya aktivitas nasionalisme di Indonesia. Masyarakat Indonesia pun tergerak bangkit dan berasosiasi memperkuat ukhuwah Islamiyah.
Hingga akhirnya memproklamirkan Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Inilah peran riil umat Islam terhadap bangsa dan negara ini nan tidak bisa dibantah lagi, meski banyak pihak mau mengubur sejarah itu.
Kala itu, beragam upaya pembaruan ditempuh para tokoh dan ustadz Indonesia, termasuk mendirikan organisasi sosial keagamaan Islam. Harus diakui, munculnya organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam itu telah menumbuhkan benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.
Modern adalah sikap dan langkah berpikir serta bertindak sesuai perkembangan zaman. Modernisasi adalah proses pergeseran sikap mental sebagai bagian dari masyarakat untuk hidup sesuai laju perkembangan zaman.
Menurut Harun Nasution, modernisasi mengandung makna pikiran, aliran, gerakan, dan upaya mengubah paham-paham, adat-istiadat, lembaga lama untuk disesuaikan dengan keadaan baru nan ditimbulkan kemajuan pengetahuan pengetahuan dan teknologi modern.
Gerakan modernisasi Islam di Indonesia seperti itu telah menjadi kejadian dan semakin menguat setelah para tokoh bumi sukses memperbarui sistem pendidikan di Universitas Al-Azhar, Mesir.
Gaung Al-Azhar menggema ke seluruh penjuru bumi Islam dan menjadi rujukan aktivitas di bumi Islam. Termasuk juga menggugah bangsa Indonesia untuk mengubah langkah pandang agar bergerak lebih maju.
Perlahan dan pasti, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan dan pencerahan. Pendidikan tak hanya difokuskan pada pembelajaran keagamaan, tetapi juga pembelajaran di bagian pengetahuan pengetahuan umum.
Tiga Jalur Ide Pembaruan
Bangkitnya Islam Indonesia mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia bakal lahirnya kembali semangat dalam meningkatkan pembaruan bagian sosial, politik, dan pendidikan.
Pengaruh aktivitas modernisasi bumi Islam semakin terlihat di Tanah Air. Terutama di awal abad ke-20.
Menurut Nurcholish Madjid, modernisasi adalah pengertian nan identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan perihal ini berfaedah proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama nan tidak aqliyah (irrasional), menjadi pola berfikir dan tata kerja baru nan aqliyah (rasional).
Kegunaannya untuk memperoleh daya guna dan efisiensi nan maksimal. Jadi sesuatu dapat disebut modern jika dia berkarakter rasional, ilmiah, dan bersesuaian dengan hukum-hukum nan bertindak dalam alam.
Awal abad 20, pemikiran pembaruan sebagaimana didefinisikan Nurcholish Madjid sudah terlihat dan sudah mewarnai arus pemikiran aktivitas Islam di Indonesia. Dan itu kudu diakui, sebagai akibat hubungan bangsa Indonesia dengan bumi Islam, khususnya Timur Tengah.
Gagasan-gagasan pembaruan bumi Islam masuk menjalar ke Indonesia. Para sejarawan menyebut ada tiga jalur buahpikiran pembaruan itu masuk ke Indonesia.
Pertama, jalur haji dan mukim alias tempat tinggal di Mekkah. Kedua, jalur publikasi, dan ketiga adalah jalur mahasiswa nan menimba pengetahuan di Timur Tengah.
Ketiga jalur itulah nan membikin pendapat pembaruan bumi menyebar sigap ke Tanah Air dan menjadi sebuah gerakan. Para tokoh nan menunaikan ibadah haji mempunyai tradisi bermukim alias tinggal di Mekkah sembari menimba dan memperdalam pengetahuan keagamaan alias pengetahuan lainnya.
Sehingga ketika mereka kembali ke Tanah Air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaannya semakin meningkat. Selama tinggal di sana, hubungan dengan bumi luar tentu tak terhindarkan lagi.
Ide dan pendapat baru nan mereka peroleh tidak jarang mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah. Sehingga aktivitas pembaruan Islam bisa berkembang cepat. Karena para ustadz nan pergi haji rata-rata punya pengaruh kuat di kalangan masyarakat Indonesia.
Di antara tokoh Islam Indonesia nan menimba pengetahuan di Mekkah adalah KH Ahmad Dahlan dan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Bahkan kedua tokoh ini belajar pada pembimbing nan sama selama di Mekkah, ialah KH Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang pemimpin dan khatib Masjidil Haram, Mekkah.
Kedua tokoh ini dalam perkembangan selanjutnya terinspirasi mendirikan organisasi di Tanah Air. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, tahun 1912 M. Sementara KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), tahun 1926 M.
Tak hanya KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, tokoh lain nan juga melakukan perihal sama adalah H. Ahmad Surkati mendirikan Al-Irsyad, tahun 1914 M dan Haji Zamzam mendirikan Persis, tahun 1923 M.
Mereka milih melakukan aktivitas pembaruan di bagian pendidikan didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media paling efektif untuk menumbuhkan gagasan-gagasan baru.
Tokoh muslim lainnya nan juga melakukan aktivitas pembaruan sepulang dari Mekkah adalah Sudarno Nadi. Tahun 1904 M, beliau berangkat haji dan sepulang dari Mekkah, nama beliau berganti menjadi KH Samanhudi dan mendirikan sebuah organisasi Serikat Dagang Islam (SDI), tahun 1905 M.
Organisasi Serikat Dagang Islam ini kelak bakal diubah menjadi Syarekat Islam (SI) di bawah ketua HOS Tjokroaminoto, tahun 1912 M. Syarekat Islam inilah nan akhirnya menjelma sebagai organisasi politik pertama umat Islam di tengah-tengah pemerintahan kolonialis untuk memperjuangkan umat Islam.
Namun sayang, dalam perkembangan selanjutnya, Sarekat Islam disusupi oleh golongan komunis, hingga akhirnya organisasi politik SI pun terpecah jadi dua, ialah SI Putih dan SI Merah.
SI putih adalah golongan berpatokan kanan namalain Islam dimotori HOS Tjokroaminoto, sedang SI Merah berpatokan kiri namalain golongan komunis dimotori oleh Semaun dan Darsono.
Pertentangan dua golongan ini makin kuat setelah ada penyataan sikap SI Merah nan menentang Pan-Islamisme, padahal semboyan itu sejak awal jadi semangat umat Islam melawan penjajah.
Fakta ini sekaligus mempertegas dan jadi bukti bahwa golongan komunis memang sejak awal terus menghadang perjuangan umat Islam dan memusuhi Islam.
Jam’iyatul Khair
Namun lepas dari itu semua, kejadian munculnya aktivitas umat Islam itu rupanya disadari kolonialis Belanda kala itu. Belanda pun khawatir, gerakannya bakal menakut-nakuti pemerintahannya di Tanah Air.
Karena itu, kolonialis Belanda terus memantau setiap aktivitas nan terjadi di bawah, termasuk terus memantau siapa saja penduduk nan berangkat haji. Dan untuk bisa mudah mendeteksinya, maka setiap umat Islam nan berangkat haji bakal dilabeli haji pada namanya sepulang dari Mekkah untuk bisa memetakan siapa-siapa nan punya potensi melakukan gerakan.
Inilah sejarah label haji di Indonesia nan sekarang justru dibanggakan umat Islam di Tanah Air jika dapat gelar haji, padahal itu adalah label pemberian penjajah.
Meski begitu, aktivitas pembaruan Islam terus menggema di Tanah Air, apalagi diperkuat dengan aktivitas publikasi nan dilakukan sejumlah kalangan Islam.
Publikasi alias publikasi media masa berupa jurnal dan majalah-majalah menjadi jalur tersendiri bagi masukkan ide-ide pembaruan Islam. Baik jurnal terbitan Mesir seperti Al-Manar nan digagas tokoh pembaharu Rasyid Ridha maupun jurnal terbitan Beirut, Lebanon.
Wacana nan disuarakan media tersebut menarik kaum muslimin Nusantara untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia apalagi lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura.
Di Sumatera Barat juga terbit al-Munir. Melalui publikasi jurnal itulah, ide-ide pembaruan Islam dari luar menyebar ke kalangan masyarakat Indonesia.
Selain itu, keberadaan mahasiswa nan menimba pengetahuan di Timur Tengah mempunyai peran tidak sedikit dalam munculnya aktivitas pembaruan Islam di Tanah Air. Itu bisa dilihat dari para pemimpin aktivitas pembaruan Islam awal di Indonesia nyaris merata merupakan alumni pendidikan Timur Tengah.
Dan rahasia di kembali peran besar mahasiswa tersebut adalah Jam’iyatul Khair, sebuah organisasi Islam pertama dan tertua di Indonesia nan didirikan tahun 1905 M. Jauh lebih lama dibanding Budi Utomo nan banyak disebut sebagai organisasi pergerakan pertama di Indonesia.
Jam’iyatul Khair berdiri pada 17 Juli 1905 di Jakarta. Organisasi ini awalnya konsentrasi beraktivitas di bagian pendidikan dasar dan mengirim para pelajar ke Turki dan merupakan satu-satunya organisasi pendidikan modern di Indonesia.
Guru-gurunya didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir dan Arab. Guru nan terkenal adalah Syekh Ahmad Surkati dari Sudan.
Jam’iyatul Khair melahirkan banyak tokoh Islam seperti KH. Ahmad Dahlan, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Samanhudi, dan H. Agus Salim. Selama belajar di luar negeri, mereka berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan bumi juga berkirim surat berita di luar negeri, menyebarkan berita mengenai kekejaman pemerintah Belanda.
Jadi, secara umum, munculnya aktivitas pembaruan Islam di Indonesia merupakan bentuk respons atas kondisi bangsa Indonesia nan sedang mengalami invasi politik, kultural dan intelektual dari bumi Barat.
Dalam situasi seperti itu muncul kesadaran nasional sebagai anak bangsa nan terjajah untuk membangun kebersamaan melawan penjajah, meski corak aktivitas keagamaan berbeda-beda.
Ada nan memilih corak aktivitas tradisionalis-konservatis, ialah menolak kecenderungan westernisasi dengan mengatasnamakan Islam nan secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi lokal.
Pendukung golongan ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat, dan masyarakat pedesaan. Juga ada nan memilih bermotif reformis-modernis, ialah menegaskan relevansi Islam untuk semua lini kehidupan baik privat maupun publik.
Islam dipandang mempunyai karakter elastisitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman. Ada pula nan bermotif radikal-puritan, ialah enggan memakai kecenderungan kaum modernis pendapat ala Barat.
Mereka lebih percaya pada penafsiran nan disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis.
Nah, ketiga golongan besar bermotif berbeda ini bahu membahu berjuang berbareng melawan kolonialis tanpa memedulikan corak. Mereka menyusun strategi perjuangan berbareng melawan kolonialis merebut kemerdekaan.
Berbagai organisasi sosial keagamaan di Indonesia pun bersatu. Inilah gambaran indahnya kebersamaan dan persatuan umat. Semoga pemandangan seperti ini terus menghiasi Indonesia sebagai bangsa kebanyakan Islam.
Bila hari ini tetap ada golongan nan suka menyalahkan, merasa betul sendiri, ingat sejarah umat Islam di Indonesia besar lantaran kebersamaan hingga sukses melawan kolonialis nan sudah ratusan tahun menginjak-injak nilai diri umat Islam.
Pertikaian dan perpecahan hanya bakal membawa kehancuran? Bila hancur, berfaedah kita, nilai diri umat Islam siap-siap diinjak-injak lagi. Apa mau? Tentu tidak.
Nah untuk itu, mari kita pelajari berbareng jati diri organisasi apa nan yang muncul di era pertama aktivitas pembaruan di Tanah Air. Siapa saja tokoh-tokoh pembaru Islam dan pemikiran serta gerakannya? Ada hubungan apa di antara tokoh-tokoh tersebut?
Dari situ nanti, kita bakal tahu jati diri organisasi itu seperti apa sekaligus bisa memahami alur aktivitas pembaruan Islam di Indonesia. Sehingga tidak salah mengerti nan justru menimbulkan perbedaan apalagi perpecahan. (*)
Penulis: ROUDLON FAUZANI MP.d, Jurnalis Senior dan Pemerhati Sejarah