Membuktikan diri sebagai juara dan mengalahkan orang lain itu animal instinct yangg tertanam dalam diri manusia. Tidak ada yangg bisa mengelak dari “kutukan” ini. Dalam beragam bentuknya, setiap orang punya kecenderungan untuk menunjukkan dirinya sebagai yangg terhebat. Bahkan manusia terlemah pun tidak bisa lolos dari khayalan untuk menjadi pemenang. Nietszche menggambarkan “kodrat” manusia ini dengan istilah “will to power”.
Peradaban manusia mempunyai caranya untuk mengkanalisasi animal instinct ini. Era Romawi Kuno, terutama di era Julius Caesar, mencatat pertarungan berdarah yangg disebut gladiator. Sekalipun pada awalnya ini menjadi ritual pemakaman kelas bangsawan, pada akhirnya dia berubah menjadi pertandingan hidup meninggal untuk menentukan “the last man standing” yangg layak dipuja-puja oleh para penonton seisi colosseum.
Olimpiade juga adalah salah satu langkah manusia untuk mengatur gairah untuk menjadi sang juara. Event olimpiade punya sejarah yangg sangat panjang sejak ribuan tahun lalu, tepatnya pada 776 SM. Ia berasal dari pedesaan Olympia Yunani Kuno. Event ini didekasikan untuk menghormati Dewa Zeus. Olimpiade diselenggarakan untuk mencari apa yangg disebut “manusia unggul” melalui sebuah kejuaraan. Coroebus, seorang kreator roti, tercatat sebagai manusia pertama yangg memenangkan Olimpiade 776 SM itu.
Sekalipun pada 391 M penyelenggaraan olimpiade pernah dilarang oleh Kisar Romawi Kristen, Theodosius, lantaran dianggap sebagai sisa-sisa ritual pagan, namun tunas olimpiade terus tumbuh. Hasrat manusia untuk menjadi juara terus mencari langkah untuk bisa diwujudkan. Akhirnya, pada 1896, Kota Athena, Yunani, menjadi saksi penyelenggaraan olimpiade modern pertama yangg terus bersambung hingga kini.
Saat ini, istilah olimpiade mempunyai gengsinya sendiri. Orang yangg juara di event olimpiade dianggap sebagai manusia unggul sejagad. Sebegitu gengsinya, istilah ini kemudian digunakan untuk beragam ragam perlombaan yangg diniati sebagai event bergengsi.
Hari ini, Direktorat Diktis, Ditjen Pendis, Kemenag RI, menyelenggarakan sebuah olimpiade yangg diberi nama OASE (Olimpiade Agama, Sains, dan Riset). UIN Syarif Hidayatullah menjadi tuan rumah penyelenggaraan event dua tahunan untuk mencati mahasiswa-mahasiswa unggul di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam se-Indonesia.
Tak ada ritual persembahan kepada Dewa Zeus, tak ada pula ketelanjangan tubuh. nan ada hanyalah kejuaraan yangg diperuntukkan bahwa para mahasiswa PTKI untuk membuktikan diri bahwa mereka adalah bibit-bibit unggul di bagian pengetahuan kepercayaan dan sains, yangg siap mendedikasikan dirinya untuk kelebihan Indonesia di masa depan.
Saya mau mengucapkan selamat berlomba pada seluruh peserta. Sekalipun saya tidak bisa datang di pembukaan, hati saya ada berbareng kalian. Jiwa saya bergemuruh di tengah-tengah kalian. Jika ada pesan yangg sungguh-sungguh mau saya sampaikan, itu adalah “Berkompetisilah sekeras mungkin, tapi jangan lupa untuk berkolaborasi.”
Berkali-kali kita diingatkan oleh ketua kita, Gus Men Yaqut Cholil Qoumas, bahwa pendidikan adalah jalan panjang membangun peradaban. Jika sekedar mau cepat, silakan jalan sendiri. Tapi jika kalian mau melangkah jauh, kalian kudu berdampingan tangan bersama. Itulah kolaborasi.
Masa depan tidak ditentukan oleh para juara yangg selfish. Masa depan dibangun dan ditentukan oleh para manusia unggul yangg sanggup merentangkan tangannya untuk saling berdampingan dan berangkulan.
Saya sangat terharu nasihat seorang ayah kepada putrinya di hari kelulusan sang putri: “Nak, go into the world and do well. But more importantly, go into the world and do good.” Jika kalian menjadi juara di perhelatan OASE 2023 tahun, maka ingatlah, ada yangg lebih krusial dari sekedar menjadi manusia juara, ialah menjadi manusia baik.