Dalil Perempuan Lebih Utama Salat di Masjid
Berikut ini bakal disampaikan nas-nas kolektif nan mengenai dengan problematika salat wanita ke masjid. Nas-nas tersebut ada nan berasosiasi secara langsung dengan topik dan ada nan tidak berasosiasi secara langsung alias hanya mengkaver persoalan melalui makna sugestif (al-ma’na al-dalâliy) saja.
Penggunaan nas-nas nan tidak berasosiasi langsung dengan topik tersebut bakal dijabarkan dengan menggunakan beberapa teori interpretasi terhadap nas nan relevan seperti ‘âm, isyâratu al-nash, dalâlatu al-nash.
1. Dalil mengenai keistimewaan memakmurkan masjid, salat di dalamnya dan keistimewaan salat berjamaah nan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya orang nan memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang nan beragama kepada Allah dan hari akhir, mendirikan salat, menunaikan amal dan tidak takut selain kepada Allah. Mereka itulah orang-orang nan diharapkan termasuk orang-orang nan mendapatkan hidayah” (QS. Al-Taubah: 18)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (البقرة : 43)
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah amal dan rukuklah berbareng orang-orang nan ruku” (QS. Al-Baqarah: 43)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (متفق عليه)
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah Saw. berkata: salat jamaah lebih baik dari pada salat sendiri 27 derajat”. (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 162, sabda no . 645)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الْجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ (رواه البخاري و اللفظ له و مسلم)
“Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. beliau bersabda: barangsiapa nan pergi ke masjid pada pagi hari dan sore hari, maka Allah bakal menyediakan baginya tempat di surga, setiap kali dia pergi pada pagi alias sore hari”. (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 165, sabda no. 662, diriwayatkan juga oleh Muslim. Shahîh Muslim. I: 457, sabda no. 669.)
Wajh al-dilâlah (cara memahami)
Empat dalil di atas menunjukkan keistimewaan memakmurkan, salat berjamaah dan salat di masjid. Pilihan redaksi nan digunakan dalam dua ayat dan dua sabda tersebut berkarakter ‘am (general), tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam teori norma Islam, nas nan umum kudu tetap berada pada keumumannya selama tidak ada nan mengkhususkan.
Dalam perihal ini tidak ada satupun nas sahih nan mengkhususkannya hanya bagi laki-laki, sehingga tidak bertindak bagi perempuan. Inilah nan menjadi prinsip dasar dalam masalah ibadah, di mana dalam Syariah Islam tidak ada pembedaan antara laki-laki dan wanita dalam perihal mempunyai kesempatan untuk melakukan kebaikan dan kebaikan salih di sisi Allah.
Dalam dalil pertama, dapat dipahami bahwa Syariah membuka kesempatan selebar-lebarnya baik bagi laki-laki maupun wanita untuk memakmurkan masjid. Dalam dalil kedua dan ketiga Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada umat Islam untuk menunaikan salat secara berjamaah, tanpa ada pembedaan berasas jenis kelamin.
Pada dalil keempat, Nabi menjelaskan keistimewaan salat di masjid dengan tidak mendiskriminasikan wanita sama sekali.
2. Dalil Mengenai Kehadiran para Perempuan di Masjid pada Zaman nabi,
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ بِمِثْلِهِ سَوَاءً ، قَالَتْ كُنْتُ فِى الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ (رواه البخاري)
“Hadis seperti ini juga dari Zainab Istri Abdullah, dia berkata: suatu ketika saya berada di masjid kemudian saya memandang nabi Saw. kemudian bersabda: sedekahlah kalian (wahai kaum perempuan), sekalipun dari perhiasan-perhiasan kalian”. (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 357, sabda no. 1466)
Wajh al-dilâlah (cara memahami)
Hadis ini menceritakan tentang Zainab berbareng sekelompok wanita nan sedang berada di masjid, kemudian mereka berjumpa Rasulullah.
Bagian nan berasosiasi dengan topik kita adalah keberadaan mereka di rumah Allah. Tidak ada kemungkinan penafsiran nan paling dapat diterima dari riwayat tersebut selain mereka mau menunaikan salat wajib di masjid. Ini berfaedah semakin menunjukkan bahwa tidak ada beban nan memberatkan kaum wanita di masa Nabi untuk berangkat ke masjid.
Jika memang ada kemungkinan penafsiran lain, seperti sekedar memanfaatkan masjid untuk menunggu datangnya Rasul dan mendengar nasehat beliau, perihal tersebut juga bakal menjadi tambahan argumen bagi kita.
Isyrârah al-nash-nya adalah untuk mendengar nasehat Rasul saja mereka dibolehkan ke masjid, apalagi untuk menunaikan ibadah salat nan sifatnya wajib. Untuk menerima nasehat Rasul mereka datang ke masjid, mustahil untuk salat wajib mereka sebaiknya pulang dan mengerjakannya di rumah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَبِى قَتَادَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنِّى لأَقُومُ فِى الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا ، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ ، فَأَتَجَوَّزُ فِى صَلاَتِى كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ . (البخاري)
“Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya Abi Qatadah dari nabi Saw. dia berkata: sesungguhnya saya ketika berdiri salat tadi mau memanjangkan (bacaan) di dalamnya. Kemudian saya mendengar tangisan bayi, sehingga saya memendekkan salatku, lantaran saya tidak mau membikin susah ibu dari bayi tersebut”. (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 176, sabda no. 707)
Wajh al-dilâlah (cara memahami)
Tidak mungkin tangisan bayi nan diceritakan dalam sabda di atas terjadi di luar masjid lantaran tidak ada hubungannya dengan salat jamaah di dalam masjid. Tindakan nabi mempersingkat salatnya ketika menjadi pemimpin lantaran mendengar tangisan seorang bayi menunjukkan bahwa tangisan tersebut terjadi di dalam masjid dan menunjukkan bahwa ada kaum wanita nan juga ikut salat berjamaah berbareng Nabi.
Pernyataan nabi bahwa beliau tidak mau menyusahkan ibu si bayi menunjukkan bahwa Nabi mau agar ibu bayi nan ikut salat berbareng Nabi segera mengambil tindakan untuk menenangkan bayinya. Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bâri menyatakan bahwa melalui sabda ini dapat diperoleh info bahwa para wanita juga dapat ikut berada berbareng laki-laki untuk menunaikan salat berjamaah di masjid. (Ibnu Hajar, Fathu al-Bâri, II: 597)
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها قَالَتْ أَعْتَمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى الْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ قَدْ نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ . فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ يُصَلِّى هَذِهِ الصَّلاَةَ غَيْرُكُمْ . وَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ يَوْمَئِذٍ يُصَلِّى غَيْرَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ (رواه البخاري)
“Dari Aisyah Ra. dia berkata: Rasululullah telah mengakhirkan waktu salat isya, sampai Umar memberitahunya bahwa anak-anak dan kaum wanita telah tidur. Rasululullah Saw. kemudian keluar dan bersabda: sesungguhnya tidak ada satupun masyarakat bumi nan menunaikan salat ini (isya) selain kalian. (Aisyah mengatakan): pada waktu itu tidak ada nan menunaikan salat selain masyarakat Madinah.” (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 210, sabda no. 862)
Wajh al-dilâlah (cara memahami)
Selain info tentang penundaan waktu salat isya nan dilakukan oleh Rasulullah Saw., isyarah al-nash nan terkandung dalam sabda di atas adalah kehadiran para wanita di masjid. Hadis di atas menjelaskan bahwa lantaran menunggu Rasulullah datang ke masjid, jamaah salat Isya, khususnya kaum wanita dan anak-anak sampai tertidur di masjid.
Kemungkinan penafsiran lain memang dapat muncul, di mana kaum wanita dan anak-anak dalam sabda tersebut sebenarnya tidur di tempat masing-masing. Namun ini kemungkinan nan sangat jauh.
Bagaimana caranya Umar nan melaporkan peristiwa tersebut bisa memantau alias mengetahui bahwa kaum wanita muslimat dan anak-anak di Madinah sudah tertidur di rumah mereka masing-masing. Sehingga kemungkinan ini kudu disingkirkan lantaran tidak begitu masuk akal.
عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ امْرَأَةٍ مِنْ بَنِى عَبْدِ الأَشْهَلِ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لَنَا طَرِيقًا إِلَى الْمَسْجِدِ مُنْتِنَةً فَكَيْفَ نَفْعَلُ إِذَا مُطِرْنَا قَالَ : أَلَيْسَ بَعْدَهَا طَرِيقٌ هِىَ أَطْيَبُ مِنْهَا. قَالَتْ قُلْتُ بَلَى (رواه أحمد و أبو داود)
“Dari Musa bin Abdullah bin Yazid dari seorang wanita dari Bani Abdul Asyhal, dia berkata. Aku berkata, wahai Rasulullah sesungguhnya kami mempunyai jalan menuju masjid nan licin, apa nan kami lakukan jika turun hujan. Rasulullah Saw. menjawab: bukankah ada jalan selainnya nan lebih bagus. Perempuan dari Bani Asyhal tersebut berkata. Aku menjawab, ya wahai Rasulullah”. (Ahmad, Musnad Ahmad, I: 552, sabda no. 27325, diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, Sunan Abî Dawûd, I: 65, sabda no. 384)
Wajh al-dilâlah (cara memahami)
Hadis di atas adalah sabda nan sahih. Namun, sangat disayangkan nyaris tidak ada kitab norma Islam nan menggunakannya sebagai pertimbangan untuk menjawab problematika wanita salat ke masjid.
Hadis di atas sangat jelas menyebut bahwa Rasulullah tetap menyarankan agar kaum wanita nan mau ke masjid mencari pengganti jalan lain ketika jalan nan biasa dilakukan becek lantaran hujan. Rasulullah tidak memberi pertimbangan agar mereka salat di rumah saja, apalagi menghubung-hubungkannya dengan fitnah.
Dalam kondisi ada orang nan bertanya, jika memang wanita lebih utama salat di rumah, semestinya Rasulullah menjelaskannya. Karena dalam Usul Fikih ada satu norma nan berbunyi, mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan tidak dibolehkan (takkhiru al-bayân waqta al-hajah lâ yazûju)”.
Jika menunda penjelasan saja tidak dibolehkan pada saat ditanya, apalagi menjawab dengan jawaban nan tidak sesuai.
عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ (متفق عليه)
“Dari Aisyah Ra. bahwasanya Nabi Saw. selalu beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan sampai beliau wafat. Kemudian istri-istri beritikaf sesudah beliau wafat”.
(Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I:487, sabda no. 2026, diriwayatkan jugaoleh Muslim. Shahîh Muslim. I: 457, sabda no. 1172.)
Wajh al-dilâlah (cara memahami)
Para istri Rasulullah dalam sabda di atas diceritakan melakukan i’tikaf, suatu ibadah sunnah dan dilakukan berhari-hari, di dalam masjid. Suatu pemahaman nan dapat kita ambil dari sabda di atas adalah; untuk melakukan ibadah sunah saja para istri Rasulullah berangkat ke masjid, apalagi dengan meninggalkan rumah selama berhari-berhari, apalagi untuk melakukan ibadah wajib.
Dalam nas dari sabda ini sangat jelas menunjukkan bahwa kaum wanita sangat dianjurkan datang dan beragama ke masjid, bukan saja laki-laki.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ (متفق عليه)
“Dari ‘Aisyah dia berkata, Jika Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Shubuh, maka para wanita nan ikut berjamaah datang dengan menutup wajah mereka dengan tanpa diketahui oleh seorang pun lantaran hari tetap gelap.” (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 211, sabda no. 867, diriwayatkan juga oleh Muslim. Shahîh Muslim. I: 253, sabda no. 645).
عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ حَدَّثَتْنِى هِنْدُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ النِّسَاءَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ صَلَّى مِنْ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَإِذَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ (رواه البخاري)
“Dari Zuhri, dia berkata. Telah menceritakan kepada ku Hindu binti al-Harist bahwa Ummu Salamah isteri Nabi Saw. mengabarkan kepadanya, bahwa para wanita di era Rasulullah Saw. jika mereka telah selesai dari shalat fardlu, maka mereka segera beranjak pergi. Sedangkan Rasulullah Saw. dan kaum laki-laki nan salat berbareng beliau tetap tak bersuara di tempat sampai waktu nan Allah kehendaki. Ketika Rasulullah Saw. berdiri dan beranjak pergi maka mereka pun mengikutinya.” (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 211, sabda no. 866.)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا سَلَّمَ يَمْكُثُ فِى مَكَانِهِ يَسِيرًا . قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَنُرَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ لِكَىْ يَنْفُذَ مَنْ يَنْصَرِفُ مِنَ النِّسَاءِ (رواه البخاري)
“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw. andaikan selesai salam, beliau berdiam sejenak di tempatnya. Ibnu Syihab berkata, menurut kami, wallahu a’lam, agar para wanita (yang salat di masjid) selesai beranjak terlebih dahulu”. ( Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 207, sabda no. 849).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَتْ مِنْ صَوَاحِبَاتِهَا قَالَتْ كَانَ يُسَلِّمُ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ ، فَيَدْخُلْنَ بُيُوتَهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَنْصَرِفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (رواه البخاري)
“Dari Ummu Salamah istri Nabi Saw.dan termasuk salah seorang istri nabi nan terdekat. Ia berkata. Rasulullah andaikan selesai salam, kaum wanita pun beranjak dan masuk ke rumah mereka masing-masing sebelum Rasulullah beranjak (dari tempatnya)”. ( Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 207, sabda no. 850 )
Hadis no 10, 11, 12 dan 13 dalâlah-nya sangat jelas menunjukkan bahwa kaum wanita di era Nabi menunaikan salat wajib di masjid.
3. Dalil Mengenai Larangan Mencegah Perempuan ke masjid
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ (البخاري و مسلم)
“Rasulullah Saw. bersabda; “Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah nan wanita untuk berangkat ke masjid Allah”. (Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 218, sabda no. 900, diriwayatkan juga oleh Muslim. Shahîh Muslim. I: 188, sabda no. 446).
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ (رَوَاهُ البخاري)
“Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw. dia berkata: Apabila istri-istrimu meminta izin pada mu di malam hari untuk berangkat ke masjid, maka berikanlah mereka izin”. ( Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy, I: 211, sabda no. 865)
4. Dalil tentang Arahan Nabi kepada Kaum Perempuan Agar ke Masjid Jangan Terlalu Berhias
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم : إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا. )مسلم)
“Dari Zainab istri Abdullah dia berkata. Rasulullah berbicara kepada kami, jika salah seorang di antara kalian berangkat ke masjid, maka janganlah menggunakan wewangian” (Muslim. Shahîh Muslim. I: 188, sabda no. 443)
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْنَ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ )رواه مسلم(
“Dari Abu Hurairah dia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: wanita manapun nan menggunakan wewangian, maka janganlah ikut kami menunaikan salat isya di waktu akhir” (Muslim. Shahîh Muslim. I: 188, sabda no. 444)
5. Dalil Aqli
Pendapat nan membedakan antara laki-laki dan wanita dalam menunaikan salat di masjid sama sekali tidak mempunyai argumen nan dapat dipertanggungjawabkan. Dari semua obrolan kritis terhadap argumen-argumen tersebut, dapat kita katakan bahwa tidak ada dalil nan sahih (valid) dan relevan nan dapat dipegangi mengenai salat wanita lebih utama dilakukan di rumah (tulisan lebih komplit mengenai otentitas hadis-hadis wanita salat di rumah dapat dibaca di kitab Problematika Fikih Perempuan karya penulis nan diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah).
Oleh lantaran itu, wanita berangkat ke masjid bukan hanya atas dasar toleransi Syariah nan tidak mau menghalangi kemauan mereka, seperti umumnya dipahami oleh nyaris semua mahir norma Islam, namun lantaran Islam memang memberikan kesempatan nan sama antara kaum wanita dan laki-laki.
Adapun logika kehati-hatian nan melarang wanita pergi ke masjid hanya lantaran takut terjadi tuduhan nan banyak dipakai oleh ahli-ahli norma Islam adalah logika nan tidak relevan sama sekali. Logika nan berangkat dari suatu dugaan nan terlalu berlebihan.
Karena pada kenyataannya seperti terlihat dalam hadis-hadis di atas, pada era Nabi sendiri pun sudah banyak wanita nan menunaikan salat di masjid dan melakukan aktivitas-aktivitas di luar rumah lainnya. Selain itu, seperti ditulis secara kritis oleh Ibnu Hazm lebih dari satu milenum nan lampau (456 H/1063 M):
“…jika potensi tuduhan menjadi penyebab wanita dilarang pergi ke masjid, maka semestinya perihal tersebut lebih layak dijadikan karena kaum wanita dilarang pergi ke pasar alias ke jalan. Mengapa sebagian (ahli hukum) itu membatasi wanita dilarang hanya untuk berangkat ke masjid lantaran fitnah, sementara wanita tidak dilarang untuk keluar ke jalan umum? Abu Hanifah apalagi membolehkan wanita melakukan perjalanan jauh sendirian nan jaraknya sampai 2,5 hari (al-Muhallâ, tth, III: 136).
Baca Juga : 4 Adab Wajib Penyempurna Ibadah Puasa
Demi kemaslahatan umat, pendapat klasik nan condong diskriminatif terhadap wanita nan selama ini dipertahankan oleh kebanyakan mahir norma Islam dalam kurun waktu nan lama, kudu bersedia kita tinjau ulang. Wallahu A’lam.
*Ust.Muhammad Rofiq Muzakkir, Lc, MA.