TAJDID.ID~Medan || Ketua Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (KPS FH UMSU), Dedi Kurniawan, mengkritik pedas kebijakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yangg menimbulkan kontroversi dan keributan di tengah-tengah masyarakat.
Ia meminta BPIP untuk segera mencabut kebijakan yangg berkarakter sangat diskriminatif dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai atribut busana dan sikap tampang personil Paskibraka yangg bakal bekerja pada Upacara HUT kemerdekaan RI ke 79.
Mahasiswa Fakultas Hukum UMSU ini mengkritik patokan BPIP yangg dianggap melecehkan konstitusi dan ideologi negara.
Selain itu, Dedi menilai bahwa kebijakan tersebut merupakan tindak kekerasan pada rakyat sendiri dan melanggar HAM.
“Jika betul pihak pemerintah melarang personil Paskibra yangg bakal melaksanakan pengibaran sang saka merah putih untuk melepaskan hijab, maka itu merupakan tindakan yangg berkarakter diskriminasi dan kekerasan terhadap rakyat nya sendiri” ujar Dedi, Kamis (15/8)
Sebab perihal itu sudah diatur dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 dalam Undang-Undang Dasar 1945 yangg mengatakan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan nan Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap masyarakat untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Menanggapi persoalan yangg terjadi. BPIP telah memberikan keterangan mengenai dengan larangan personil Paskibra untuk memakai hijab. BPIP mengatakan mengenai dengan personil Paskibra yangg tidak menggunakan hijab bukan merupakan paksaan melainkan kesukarelaan anggota. Menurut Dedi, jawaban yangg diberikan oleh BPIP bukan merupakan solusi untuk mengatasi persoalan yangg ada.
“Saya heran dengan lembaga ini, kita tau berbareng bahwa BPIP itu kan merupakan lembaga untuk membina dan melestarikan ideologi negara. Namun kenapa patokan dari BPIP malah sama sekali tidak menunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi negara. Selain itu, jawaban yangg dilayangkan BPIP juga sama sekali tidak mempunyai landasan filosofis untuk menyelesaikan persoalan yangg muncul”. Ujar Dedi
Selain itu, BPIP juga mengatakan jika melepas hijab maka bakal menciptakan keberagaman personil Paskibra. Tentu statement tersebut sangat di sayangkan, karena tidak ada landasan filosofis serta urgensi untuk menciptakan keberagaman dengan langkah seperti itu, melainkan hanya menimbulkan perlakuan yangg berkarakter diskriminatif.
Persoalan dasarnya adalah bahwa patokan yangg menjadi pedoman standar atribut, busana dan sikap tampang yangg dikeluarkan BPIP, yangg merujuk kepada Surat Edaran Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pembentukan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi Tahun 2024 yangg kudu dipatuhi personil Paskibraka saat bertugas.
Menurut Dedi, patokan tersebut bertentangan dengan patokan yangg di atasnya. Karena pada dasarnya, menurut Hans Kelsen dengan teori berjenjangnya (stufenbatheory) patokan di bawah tidak boleh bertentangan dengan patokan yangg di atas nya.
Selain itu, jika dikaji lebih lanjut patokan BPIP tersebut tidak mempunyai 3 landasan pembentukan peraturan perundang-undangan ialah filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan filosofis mengandung bahwa sebuah patokan kudu mencerminkan nilai-nilai yangg terdapat dalam teori-teori filsafat, seperti contohnya Pancasila.
Sedangkan landasan sosiologis adalah gimana peraturan tersebut kudu mencerminkan realita yangg hidup dalam masyarakat dan merupakan kebutuhan masyarakat. Jadi sebuah patokan kudu diterima dengan baik lantaran sesuai dengan kebutuhan bukan sebaliknya.
Sementara landasan yuridis adalah gimana keharusan adanya kewenangan dari kreator peraturan perundang-undangan kudu ada pejabat yangg berkuasa untuk membentuknya. Selanjutnya kudu ada kesesuaian materi muatan yangg diatur dan kudu sesuai dengan jenjang peraturan perundang-undangan.
Terakhir, Dedi menyampaikan bahwa personil yangg memakai hijab bukan merupakan pelanggaran dan ketidakseragaman. Memakai hijab merupakan suatu ibadah dalam kepercayaan Islam. Jadi jika menginginkan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, hendaknya persoalan seperti ini tidak terjadi lagi.
“Kami berambisi peraturan yangg baik itu diterima oleh masyarakat secara wajar, apalagi dengan spontan. Bukan sebaliknya, adanya keterpaksaan masyarakat atas suatu peraturan,” kata Dedi.
Maka dari itu Dedi mewakili Mahasiswa Fakultas Hukum UMSU meminta segala corak patokan yangg berkarakter diskriminatif dan melanggar HAM kudu di cabut, lantaran tidak sesuai dengan ideologi negara serta konstitusi yangg melindungi setiap penduduk negara untuk tidak mendapatkan perlakuan yangg berkarakter diskriminatif. (*)