Akhir-akhir ini banyak diskursus tentang penolakan, pertentangan dan pengharaman politik identitas nan dianggap sebagai sebuah potensi ancaman untuk keberagaman nan tentunya ini tetap konklusi prematur. Para tokoh nan menyatakan ketidakseuujuannya dalam model strategi politik identitas pun tidak main-main, dari level elit pejabat apalagi penguasa pemerintahan sampai pada para tokoh akademisi dan organisasi masyarakat alias ormas Islam maupun kepercayaan lainnya.
Politik identitas dianggap sebagai suatu perihal nan haram jika dijalankan sebagai strategi politik praktis oleh partai mana pun, nan entah apa argumen logisnya. Penilaian nan paling menonjol terhadap politik identitas adalah dianggap sebagai ancaman keragaman, pemicu kebanyakan alias minoritas, simbol kepercayaan nan dipolitisasi dan sebagainya.
Di sisi lain seolah-seolah ada perihal lain nan lebih legal dan dianggap wajar, maklum, lazim apalagi biasa ialah politik transaksional. Sering kali politik transaksional terlihat seperti perihal negatif nan dihindari, namun pada kenyataannya ini tetap melangkah dengan mulus, mudah, senang, biasa, soft dan lebih menguntungkan daripada dianggap politik identitas apalagi identitas keagamaan. Karena politik transaksional lebih jelas output nya dan menguntungkan hasil nan sangat berfaedah dalam keberlanjutan serta keberlangsungan kehidupan politik. Pelaku politik transaksional pada hakikatnya lah nan paling banyak menentang dan melawan politik identitas, nan secara implisit pun mereka juga melakukannya model politik identitas bakal tetapi tak bersuara seribu bahasa serta malu mengakui secara terbuka dan terang-terangan.
Jika bicara politik khsusnya pada aspek politik praktis tentu tidak hanya seputar politik identitas dan politik transaksional saja. Melainkan tetap banyak lainnya seperti politik etis, politik uang, politik abangan, politik santri, politik belah bambu, politik imperialis, dan corak politik-politik lainnya nan itu justru kadang bisa lebih jelek lagi daripada sekedar politik identitas. Padahal jika membahas identitas, terkadang semua orang pasti bakal memilih nan jelas identitas nya daripada nan abu-abu alias nan tidak jelas identitas nya. Semakin tidak jelas identitas orang, lembaga, komunitas, tujuan, dan sebagainya justru semakin dijauhi serta diabaikan. Akan tetapi menjadi pradoks ketika identitas dibahas dalam ranah politik apalagi politik praktis dalam setiap menjelang pemilu. Entah kenapa dan siapa nan memainkan rumor nan jelek alias rumor nan negatif tersebut, nan selalu beranggapan politik identitas itu secara terbuka dinilai haram sedangkan jika bicara identitas semua mengatakan itu kudu dan legal agar jelas identitasnya.
Lihatlah sungguh rusaknya sistem, nilai, budaya, tatanan kehidupan di masyarakat itu jauh lebih besar diakibatkan oleh model politik transaksional daripada politik identitas. Ketika politik transaksional dihalalkan dan dianggap wajar, maka hancurlah nilai tatanan dikarenakan hilangnya idealisme, kehormatan, independensi, prinsip, reputasi, nilai diri dan lainnya. Mungkin memang kesan bermain politik transaksional lebih terlihat soft, lunak dan penuh kelemah lembutan. Akan tetapi kerusakan Nilai-nilai menjadi begitu nyata adanya. Sehingga tak perlu lagi menganggap haramnya politik identitas sedangkan membiarkan halalnya politik transaksional.
Politik Identitas tidak bakal mempengaruhi apapun bagi mereka nan justru bisa menggunakan logika sehatnya lebih terbuka, dewasa, bijaksana, santai, enjoy dan egaliter. Namun sebaliknya bakal dianggap sebagai suatu kemunduran bagi mereka nan justru kolot, koping, berpikiran sempit, dan sebagainya. Politik transaksional itulah nan dapat merusak sendi kehidupan manusia, dimana logika sehat terjual, hati nurani terbeli, prinsip tergadai, kehormatan terinjak, kebebasan terkukung akibat semua ditransaksionalkan entah lantaran duit, bayaran, sogokan, pelicin, proyek mudhorot, dan lainnya. Tidak ada nan salah dengan politik identitas, jikalau salah itu terletak pada langkah pikir orang nan tidak mengerti makna identitas dan nan tidak memahami politik identitas, bakal tetapi dia merasa lebih mengerti dengan politik transaksional. Politik transaksional itu nan lebih banyak mengarah pada kesalahan langkah pandang, karena politik transaksional hanya bakal melahirkan generasi parasit politik dan generasi hipokrit politik. Meskipun ada nan merasa bahwa tidak setuju bakal keduanya baik politik identitas ataupun politik transaksional, maka dia masuk dalam ranah politik netral mengambil posisi tengah jalan abu-abu nan itu pun tak memberi nilai faedah apapun. Sebab politik netral pun hanya ada sebagai formalitas, namun kenyataannya nan politik netral juga akhirnya menjadi politik keberpihakan dengan jalan tersembunyi. Karena pada akhirnya semua bakal mengakui bahwa rupanya politik identitas lebih layak legal dan sedangkan politik transaksional jelas lebih haram dalam mencapai kemajuan bangsa di ramah politik praktis. Semua bakal memahami dan lebih bijak ketika jelas identitas nya namun tetap diterima dengan secara terbuka tanpa merasa ada ancaman, sentimen, perpecahan, kerusakan dan lainnya lantaran identitas nan jelas itu pula nan membikin mestinya manusia itu lebih bijak dengan logika sehat kedewasaannya.
Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., MA.
(Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebikan Publik)