*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah Anda mengatakan terhadap apa yangg disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘ini legal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan ketidakejujuran terhadap Allah. Sesungguhnya orang yangg mengada-adakan ketidakejujuran terhadap Allah tidak bakal beruntung.” (QS. An-Nahl: 116)
Ayat ini adalah peringatan tegas bagi umat manusia agar tidak sembarangan menetapkan sesuatu sebagai legal alias haram tanpa dasar dari Allah.
Hak menentukan legal dan haram adalah otoritas absolut Allah, bukan manusia, ulama, apalagi pemimpin kepercayaan yangg hanya mengandalkan hawa nafsu alias pendapat pribadi.
Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Allah melarang umat manusia mengikuti jalan kaum musyrik yangg mengada-adakan patokan mereka sendiri tentang legal dan haram. Beliau berkata:
“Kemudian Allah Ta’ala melarang mengikuti jalan kaum musyrikin yangg menghalalkan dan mengharamkan dengan sebatas istilah-istilah yangg mereka buat sendiri berupa nama-nama menurut pendapat mereka…”
Salah satu corak kesyirikan yangg dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nashrani adalah menjadikan rabi dan pendeta mereka sebagai tandingan Allah. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:
“Mereka menjadikan rabi dan pendeta mereka serta Almasih bin Maryam sebagai tandingan selain Allah.” (QS. At-Taubah: 31)
Ketika ayat ini dibacakan kepada Adi bin Hatim Ath-Thoo’i radhiyallahu ‘anhu, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, kami tidaklah beragama kepada mereka.”
Rasulullah menjawab: “Bukankah mereka menghalalkan untuk kalian apa yangg Allah haramkan sehingga kalian pun menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yangg Allah halalkan sehingga kalian pun mengharamkannya?”
Adi bin Hatim menjawab: “Benar.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Itulah yangg dimaksud beragama kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi: 3095)
Melalui penafsiran ini, Rasulullah saw menegaskan bahwa mengikuti seseorang dalam menetapkan legal dan haram tanpa dasar dari Allah adalah corak ibadah kepada mereka.
Padahal, Allah hanya memerintahkan manusia untuk menyembah-Nya semata:
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yangg Esa.” (QS. At-Taubah: 31)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan berkata: “Yakni Rabb yangg jika mengharamkan sesuatu, maka hukumnya haram. Dan apa yangg Allah halalkan, maka hukumnya halal. Apa yangg Allah syariatkan, maka kudu diikuti. Dan apa yangg Allah tetapkan, maka kudu dilaksanakan.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/135)
Menetapkan legal dan haram adalah kewenangan prerogatif Allah yangg tidak boleh diambil alih oleh manusia.
Ketika seseorang alias golongan mengubah patokan legal dan haram tanpa dasar wahyu, itu berfaedah mereka telah melakukan kesyirikan.
Oleh lantaran itu, sebagai Muslim, kita wajib berhati-hati dan senantiasa merujuk pada Al-Qur’an dan sunah dalam menentukan norma legal dan haram, tanpa mencampurkan hawa nafsu alias kepentingan duniawi.
Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk senantiasa alim kepada-Nya dan tidak tergelincir dalam kesalahan ini. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
Untuk mendapatkan update sigap silakan berlangganan di Google News