Dua Idul Adha ini sudah saya ketahui jauh sebelum Sidang Isbat pada Ahad, 18 Juni 2023 lalu.
Dengan diterimanya kriteria wujudul bulansabit dan imkanurrukyat MABIMS bagi masuknya awal bulan, ada 2 implikasi:
Pertama, tidak ada penganut rukyat di Indonesia. Para perukyat yangg menyatakan sukses merukyat saat tinggi bulansabit menurut hisab tetap kurang dari kriteria IR, maka klaim dan kesaksiannya pasti ditolak. Keputusan awal bulan berdasar hasil hisab, bukan rukyat.
Kedua, masalah awal bulan menjadi masalah sains yangg deterministik. Seseorang yangg memahami pengetahuan hisab dapat mengetahui kapan Sidang Isbat hingga beberapa puluh tahun ke depan serta tahu apa yangg bakal diputuskan setiap Sidang Isbat. Artinya, orang tersebut tahu awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia hingga beberapa puluh tahun ke depan.
Karena itu, secara pribadi saya telah beberapa kali menyuarakan agar sidang isbat ditiadakan dan diganti pengumuman biasa tetapi resmi di awal tahun Masehi oleh Kementerian Agama. Artinya, tetap ada pengumuman resmi, tetapi bukan Sidang Isbat.
Tahun ini, Idul Adha 1444 di Indonesia ada dua: Rabu 28 Juni dan Kamis 29 Juni 2023. Jika awal Ramadan, Idul Fitri alias Idul Adha ada dua, maka yangg pertama pasti Muhammadiyah dengan Wujudul Hilal-nya dan yangg hari berikutnya pasti Kemenag dengan IR MABIMS-nya. Itu pasti, dan tidak dapat terjadi sebaliknya.
Idul Fitri 14440 di Indonesia juga berbeda. Seperti yg saya sebut di depan, Idul Fitri yangg lebih awal 21 April 2023 adalah Muhammadiyah dan yangg 22 April 2023.
Karena kita belum betul terbiasa berbeda, maka tekanan psikologis dg opini tidak alim kepada pemerintah bagi yangg Idul Fitri lebih awal dan minoritas cukup terasa.
Untuk perbedaan Idul Adha, tekanan tetap ada meski tidak sebesar saat Idul Fitri. Ini terjadi lantaran dua sebab. Pertama, ada waktu sepuluh hari dari Sidang Isbat hingga salat Id. “Temperatur hati” telah turun dan relatif dingin.
Kedua, Idul Adha 28 Juni 2023 pas bersesuaian dengan Idul Adha Arab Saudi tempat wukuf berlangsung. Secara psikologis, mengenai Idul Adha, umat Islam tetap condong merujuk ke Arab Saudi.
Apakah lantaran Idul Adha 28 Juni 2023 sesuai dengan Arab Saudi saya senang dan mau serang kembali yangg ber-Idul Adha 29 Juni 2023? Tentu tidak. Saya tetap sedih.
Kalau pun Muhammadiyah ber-Idul Adha berbarengan dengan Arab Saudi itu lantaran situasi alamnya memang demikian. Nanti bakal ada waktu ketika Idul Adha di Arab Saudi berbarengan dengan Idul Adha Kemenag kita. Ini pernah terjadi beberapa tahun lalu.
Kesedihanku adalah lantaran bumi Islam belum bisa melakukan lompatan pemikiran yangg menghasilkan sistem Kalender Islam Global, satu tanggal satu di seluruh planet Bumi. Idul Adha di Jakarta, Idul Adha juga di Islamabad, di Mekah, di Kairo, di London, New York maupun di Canberra pada hari yangg sama.
Kesadaran tentang Kalender Islam Global tetap rendah. Masalah Idul Fitri maupun Idul Adha belum dipahami sebagai urgensi keberadaan sistem almanak bumi Islam.
Idul Fitri, Idul Adha maupun awal Ramadan memang mengenai dengan prosesi peribadahan sebagaimana ibadah lain. Tetapi awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha merupakan peribadahan yangg mengenai dengan penandaan sistem waktu bulanan dalam almanak Islam dan mengenai dengan posisi relatif bumi, bulan dan mentari yangg masing-masing objeknya hanya satu juga.
Muhammadiyah cukup aktif mengikhtiarkan lahirnya Kalender Islam Global. Idul Fitri dan Idul Adha 1444 mengajarkan kepada kita bahwa wilayah Indonesia dan wilayah sebelah barat seperti Saudi dan Eropa dapat ber-Idul Fitri pada hari dan tanggal yangg sama.
Indonesia dalam perihal ini diwakili oleh Muhammadiyah dg hisab Wujudul Hilal-nya, bukan dengan Kemenag dengan IR MABiMS-nya.
Artinya, kriteria IR di Indonesia kudu serendah mungkin agar dapat ber-Idul Adha pada hari yangg sama dengan area sebelah barat.
Dan model yangg memenuhi ketentuan tersebut telah ada, ialah model Kalender Islam Global Turki 2016. Memang belum sempurna, tetapi telah memenuhi angan satu tanggal satu di seluruh muka bumi.
Tahun 2017, ada pertemuan membahas koreksi Kalender Islam Global Turki dengan Kriteria Jakarta. Tetapi sayang, kriteria IR Jakarta terlalu tinggi, sehingga seperti kasus Idul Fitri dan Idul Adha kudu berbeda antara Arab Saudi dan Indonesia.
Indonesia yangg merasa belum memandang bulansabit tidak dapat memaksa negara Islam d sebelah barat yangg telah memandang bulansabit menunda masuknya masuknya bulan baru.
Matahari, bulan dan buminya satu, mestinya tanggal satunya juga hanya satu di seluruh bumi. Karena belum satu, meski Idul Adha Muhammadiyah sama dengan Arab Saudi tempat orang melaksanakan ibadah haji saya tetap cukup sedih. (*)
*) Prof. Agus Purwanto D.S, Guru Besar Fisika Teori ITS dan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur
Untuk mendapatkan pembaruan sigap silakan berlangganan di Google News