Salah satu spekulasi yangg berkembang di kembali kemunduran peradaban Islam adalah ‘wafatnya’ intelektualitas dalam bumi Islam di segala bidang. Kewafatan yangg dimaksud adalah redupnya tradisi makulat dan kritisisme di dalam mencerna dan mengolah beragam info teologis, sosiologis, maupun saintis. Implikasinya adalah terjadi kekaburan dalam memandang segala realitas yangg ada sehingga kemunculan fanatisme menjadi tak terelakkan.
Di tengah ‘mati surinya’ intelektualitas dalam bumi Islam, Eropa serius memikirkan masalah-masalah besar yangg dulu menjadi concern para filsuf dan intelektual Muslim. Sejak Abad Pertengahan. Ketika mazhab-mazhab teologi Islam dinyatakan purna, kemajuan tak terbatas terjadi di ranah pemikiran dan pengalaman manusia. Bukannya tanpa resiko, akibat yangg kudu diambil dari kemajuan tersebut telah menjadikan superioritas dalam diri manusia sehingga alam semesta tak lebih sebagai objek yangg mudah ‘dipermainkan’.
Di sinilah muncul masalah-masalah baru yangg dalam bahasa Iqbal perlu dilakukan upaya rekonstruksi. Bebarengan dengan itu, sementara sains dan makulat modern mungkin sangat membantu dalam mengurai persoalan yangg mendera umat Islam, rekonstruksi juga menuntut perihal lain, ialah kesinambungan dengan tradisi.
Ke Mana Arah Rekonstruksi Muhammad Iqbal?
Ada dua cerdas pandai Muslim yangg memberi atensi unik terhadap istilah “Rekonstruksi” pada karya Iqbal; Fazlur Rahman dan Syed Naquib al-Attas. Jika menilik lebih dalam, sebenarnya Iqbal agak ‘malu-malu’ mengungkap dan menguraikan secara gamblang dan tegas istilah ini. Akan tetapi, di beberapa bagian tertentu, Iqbal menggunakannya secara definitif dan tampaknya mempunyai “agenda terselubung” (hidden agenda) yangg mau dia sampaikan dengan istilah tersebut. Dengan kata lain, Iqbal dengan sengaja menggunakan istilah itu.
Pertanyaan sederhananya adalah rekonstruksi seperti apa yangg Iqbal maksud dan ke mana arahnya? Secara sederhana, Rekonstruksi-nya Iqbal dapat kita pandang sebagai respons terhadap “problem modernitas”. Pendapat ini setidaknya diamini oleh Zainal Abidin Bagir. Dari sisi historis dan konteks intelektual, kita bisa memandang Iqbal hidup di bumi Islam yangg tengah mengalami perubahan akibat kontak langsung – dan, dalam sejumlah kasus, bentrok – dengan peradaban modern Barat dengan sains dan teknologinya menjadikan karakteristiknya yangg paling signifikan, di samping sejumlah aspek internal. Dengan kata lain, Iqbal merupakan Muslim generasi awal yangg terpapar kampanye peradaban baru dalam bentuknya yangg imperialistik.
Dalam Rekonstruksi-nya, Muhammad Iqbal berulang kali mengeksplisitkan proyek mercusuarnya dalam beragam konteks. Pertama, pentingnya pengetahuan keagamaan yangg ilmiah. Ia bolak-bolak mengkampanyekan tentang perihal ini. Menurutnya, sufisme telah melakukan pekerjaan yangg mulia dalam membentuk ortodoksi keagamaan sehingga menjadi pegangan teologis bagi generasi berikutnya. Akan tetapi, langkah ini sudah tidak relevan bagi manusia modern katanya. Baginya, manusia modern hidup dalam discourse (diskursus) tersendiri sehingga dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, dalam irit Iqbal, sudah saatnya dilakukan upaya rekonstruksi.
Kedua, di tempat lain, Muhammad Iqbal mengaksentuasikan poin terakhir: Teori-teori ilmiah garda depan – seperti yangg dikemukakan Einstein – menyediakan cara-cara baru dalam memandang realitas, yangg juga menjadi pembahasan umum bagi kepercayaan dan filsafat.
Pengetahuan dan Pengalaman Religius dalam Islam
Dalam Rekonstruksi-nya, Iqbal mengawalinya dengan beberapa pertanyaan yangg cukup menggelitik, “Apakah karakter dan struktur umum dari alam semesta yangg kita tinggali ini? Adakah unsur permanen dalam gugusan alam semesta ini? Bagaimana kita dapat menjalin hubungan dengannya? Jenis tempat apakah yangg kita huni ini? Dan sikap yangg bagaimanakah agar kita sesuai dengan tempat ini? Pertanyaan tersebut sejatinya sudah plural dalam agama, filsafat, dan sastra.
Untuk mengelaborasi pertanyaan di atas, Muhammad Iqbal menghidangkan gimana kepercayaan semestinya dipandang baik secara teologis maupun sosiologis dan gimana kepercayaan didekati dengan tradisi makulat yangg sepenuhnya logis terhadap agama. Dalam perihal ini, Iqbal tetap berpatokan bahwa kepercayaan dalam bentuknya yangg lebih maju, tumbuh lebih tinggi daripada sastra cum filsafat.
Namun, dalam nuansa tertentu, Iqbal tidak memungkiri bahwa kepercayaan bisa didekati dengan filsafat. Semangat makulat baginya adalah semangat penyelidikan bebas (the spirit of philosophy is one of free inquiry). Ia selalu meragukan (baca: mempertanyakan) segala corak otoritas. Fungsinya adalah menggeledah asumsi-asumsi yangg tidak kritis dari pemikiran manusia hingga ke tempat persembunyiannya yangg tak terjamah.
***
Dalam upaya itu, dia bisa berhujung dengan resistensi alias resepsi dengan jujur tentang ketidakmampuan logika dalam menggapai Realitas Tertinggi (the Ultimate Reality). Intisari agama, pada sisi lain, adalah iman. Ia ibaratkan laksana burung yangg memandang ‘jalan tanpa jejak’, yangg tak terjangkau oleh akal, yangg dalam bahasa penyair mistik sufi besar Islam, “hanya hati manusia yangg hidup, yangg bisa menyergapnya dan merebutnya dari kekayaan kehidupan yangg tak terlihat di dalamnya.”
Namun demikian, tak bisa dimungkiri bahwa ketaatan itu bukanlah sekadar perasaan. Ia juga mempunyai kandungan kognitif dan keberadaan pihak-pihak kompetitornya – yangg skolastik dan mistik – dalam sejarah kepercayaan menunjukkan bahwa pendapat merupakan unsur vital dalam agama. Terlepas dari itu, kepercayaan dari segi doktrinalnya, seperti yangg dikemukakan Whitehead, adalah sistem kebenaran-kebenaran umum yangg berpengaruh mentransformasikan karakter manusia andaikan dipegang teguh dengan tulus dan dipahami dengan jeli dan seksama”.
Quran sebagai ‘Kata Kerja’
Dalam pengantarnya, Muhammad Iqbal menegaskan bahwa ‘Al-Quran merupakan kitab yangg menekankan ‘amal’ daripada pemikiran’ (the Quran is a book which emphasizes ‘deed’ rather than ‘idea’). Pernyataan Iqbal tersebut menghentak jagad pemikiran sebagian kalangan yangg hanya mengimani Al-Quran sebagai kitab teologis. Kendati demikian, Iqbal menyadari bahwa tidak semua orang bisa mengasimilasikan secara organik suatu semesta yangg asing dengan menyandarkan varietas unik dari pengalaman jiwa (inner experience), sebagai sebuah proses vital, yangg pada pengalaman itulah kepercayaan keyakinan pada akhirnya bersandar.
Terlebih lagi, dalam terminologi manusia modern acapkali mengembangkan kebiasaan pemikiran logis (konkrit) sehingga menjadikan dirinya kurang menyadari bakal pengalaman jiwa yangg dialami oleh kalangan sufi. Tidak hanya itu, Iqbal juga mengkritik kalangan kedua tersebut lantaran mereka terus-menerus menggunakan metode klasik yangg diciptakan dan dipertahankan selama beberapa generasi, yangg tentu saja mempunyai pandangan budaya yangg berbeda dengan pandangan modern kita dalam banyak hal.
Menurut Iqbal, tujuan pokok Al-Quran adalah membangkitkan kesadaran yangg lebih tinggi dalam diri manusia mengenai beragam relasinya dengan Tuhan dan alam semesta. Aspek pokok inilah yangg kemudian menyebabkan Goethe tatkala memberikan tinjauan umum mengenai Islam sebagai kekuatan yangg mendidik (educational force), berbicara kepada Eckermann: “Lihatlah gimana aliran ini (Islam) tidak pernah gagal, dengan segala sistem yangg ada pada kita, kita tidak dapat melangkah dan secara umum kita bisa mengatakan, tidak seorang pun yangg dapat melangkah lebih jauh dari itu”.
***
Dalam konteks itulah, Iqbal mencoba untuk merekonstruksi makulat kepercayaan Islam dengan memperhatikan tradisi makulat Islam dan perkembangan mutakhirnya di beragam bagian disiplin pengetahuan manusia. Penting untuk dicatat bahwa dalam salah satu suratnya yangg membahas Rekonstruksi, Iqbal menyebut dua pokok utama rekonstruksi yangg dia maksud ialah tradisi intelektual Islam dan makulat modern.
Lebih jauh, Ia menekankan perlunya memberikan landasan logis sebagai underlying keberagamaan seseorang. Sebab, dalam kasus Islam, pencarian landasan logis telah diarusutamakan oleh Nabi Saw sendiri ketika berdoa, “Wahai Tuhan! Anugerahi diriku pengetahuan tentang sifat sejati dari segala sesuatu”. Karya-karya dari kalangan filsuf, mutakallimin, dan sufi yangg dimulai tak lama pasca kewafatan Nabi juga bergerak ke arah ini.
Jadi, Iqbal memandang secara keseluruhan tradisi makulat dalam Islam – dalam makna seluas-luasnya – sebagai perihal yangg terdiri dari serangkaian upaya untuk memberikan injakan logis pada Islam. Rekonstruksi pemikiran religiusnya dalam Islam adalah bagian dari perihal ini. Rekonstruksi sebenarnya bermuara pada tujuan yangg sama; memberikan landasan logis bagi Islam, bedanya Rekonstruksi Iqbal dilakukan pada era yangg berbeda dengan langkah yangg berbeda pula.
Tentu saja, dalam kerangka rekonstruksi tersebut, Iqbal menggarisbawahi bahwa tidak ada finalitas dalam pemikiran filsafat. Seiring kemajuan pengetahuan pengetahuan dan keterbukaan pemikiran, yangg boleh jadi lebih logis dan relevan daripada pandanganya, Iqbal pun menerimanya dengan tangan terbuka. Tugas kita – sebagaimana Iqbal kemukakan – adalah menelisik secara hati-hati kemajuan pemikiran manusia dan mempertahankan sikap kritis independen terhadapnya.
Daftar Buku
Judul Buku : Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam
Penulis : Muhammad Iqbal
Penerbit : Mizan
Tahun Terbit : 2021
Tebal : 300 Halaman
ISBN : 978-602-441-213-5
Editor: Soleh