Karakter Raja’: Berharap kepada Allah tanpa Berputus Asa - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Mahatma Gandhi menyatakan, “Harapan Pasti Ada!” Tentu bagi nan tidak diliputi emosi sedih, keluh-kesah, cemas, dan berputus asa.

Yang sakit berambisi untuk sembuh dengan berobat dan nan kandas berambisi sukses dengan bangkit menata diri. Harapan dalam Islam dikenal dengan sikap raja’ . Raja’ bukanlah pada hal-hal nan melanggar sunatullah nan telah ditetapkan oleh-Nya.

Bukanlah karakter raja’ nan mau kaya dengan mencuri dan merampok; tidaklah disebut berbudi pekerti raja’ orang nan mau sukses tanpa melalui proses; dan bukanlah karakter raja’ orang meraih segala sesuatu dengan menghalalkan segala langkah nan dilarang etika-agama dan etika sosial serta budaya orang nan beradab.

Begitu sangat pentingnya karakter raja’, maka sangat perlu di dalami lebih jauh agar sikap terpuji ini menjadi kata nan seiya dengan laku, bukan kata nan mendustai laku.

Pengertian Raja’

Menurut Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, dan Abu Hamid Al Ghazali, Raja‘ (harapan) adalah kelegaan (ketenangan) hati untuk menunggu apa nan dia sukai.

Esensi dari raja’ adalah mengharap ridha, rahmat dan pertolongan Allah SWT, serta percaya perihal itu dapat diraihnya, alias suatu jiwa nan sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu nan disenangi dari Allah SWT, setelah melakukan hal-hal nan menyebabkan terjadinya sesuatu nan diharapkannya.

Maka mengharap ridha, rahmat, dan pertolongan Allah SWT, tidak serta merta hanya menunggu saja. Akan tetapi kudu memenuhi sunatullah alias ketentuan Allah SWT, seperti aktif melakukan kebaikan, menjauhi kejahatan, melaksanakan ibadah wajib dan sunah, serta kebaikan saleh nan selalu mendekatkan sang hamba pada Khaliqnya.

Syarat Karakter Raja’

Karakter raja’ bukan pada hal-hal nan negatif nan diharapkan bakal tercapai maksud nan diharapkan. Tetapi pada hal-hal nan berkarakter positif nan diharapkan tercapai maksud dan tujuan nan diinginkan. Barang siapa harapannya mau diberi hidayah untuk menjalankan ketaatan dan dihindarkan dari kemaksiatan, maka raja’ seperti inilah nan paling benar. Namun barangsiapa raja’ alias harapannya ini bisa mengerjakan kebatilan dan hanyut dalam perbuatan maksiat, maka dia telah tertipu.

Di antara perihal nan selayaknya diketahui, bahwa seseorang nan mengharapkan sesuatu, hendaklah dia memenuhi raja’ nya dengan tiga hal:

1. Mencintai apa nan diharapkan.

2. Takut jika terlewat untuk mendapatkannya.

3. Berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya.

Adapun raja’ nan tidak disertai ketika aspek tersebut, maka perihal itu sebenarnya hanyalah khayalan nan tidak bakal pernah kesampaian. Sebab raja’ dan khayalan itu adalah dua perihal nan sangat bertolak belakang.

Setiap orang nan berambisi (beraja’) berfaedah dia takut kepada Allah Azza wa Jalla. Dan orang nan menempuh sebuah jalan dengan emosi takut, maka dia bakal mempercepat jalannya agar tidak terlewat (untuk mendapatkan sesuatu nan dikejarnya) (Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, Abu Hamid Al Ghazali, 2001: 133-135)

Progresivitas sebagai Elanvitas Karakter Raja’

Dalam pandangan Ibnu Qudamah dalam kitab Minhajul Qashidin, ketahuilah bahwa angan itu adalah sesuatu nan terpuji, lantaran angan bisa mendorong kepada amal. Sedangkan putus asa adalah sesuatu nan tercela, lantaran dia mengalihkan dari amal. Sebab orang nan sudah tahu bahwa tanah nan diolahnya tandus, airnya hanya lewat belakang dan bibit tidak bisa tumbuh, dia justru meninggalkan tanah itu dan tidak berupaya mencari tanah lain serta tidak mau bersusah payah….

Harapan membuahkan jalan upaya dengan langkah beramal, tekun pada ketaatan, dan apapun perubahan keadaannya. diantara pengaruhnya adalah terus-menerus menghadap kepada Allah, merasa kenikmatan bermuat kepadanya dan berjuntai kepadanya. keadaan-keadaan seperti ini kudu ditampakkan bakal setiap orang nan mengharap kan singasana kerajaan dan seseorang nan diinginkannya. Lalu gimana mungkin perihal itu tidak ditampakkan dalam kaitannya dengan kewenangan Allah? Selagi harapannya tidak ditampakkan, berfaedah menunjukkan kegagalannya mendapatkan kedudukan nan diharapkan. Barangsiapa berambisi menjadi orang nan baik, tapi dia tidak menampakkan tanda-tandanya berfaedah dia adalah orang nan tertipu. (Qudamah, 2017: 377)

Macam-macam Karakter Raja’

Menurut Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajid, raja’ itu ada tiga macam, Dua nan terpuji dan satu nan tercela yakni:

Pertama, angan seseorang nan alim kepada Allah di atas sinar dari Allah. Apa nan dia harapkan? Pahala Allah.

Kedua, angan seseorang nan melakukan dosa kemudian bertobat. Apa nan dia harapkan? Ampunan Allah, dosa-dosanya dihapuskan kesalahan-kesalahannya dimaafkan dan ditutupi.

Ketiga, seseorang nan terus-menerus dalam melampaui batas, kemaksiatan kesalahan, lampau mengharapkan rahmat dan pembebasan Allah tanpa dibarengi amal. Ini adalah ketertiban, khayalan dan angan dusta, tidak dipandang sebagai angan nan terpuji untuk selamanya. (Al Munajjid, 2004: 61-62)

Dari tiga macam karakter raja’ dapat dipahami, bahwa hanya dua karakter positiflah nan dapat dikatakan seorang hamba Allah telah berperilaku raja’. Sedangkan nan ketiga tergolong kepada karakter nan negatif.

Tingkatan Spiritual dalam Mewujudkan Karakter Raja

Untuk meraih keparipurnaan dalam berbudi pekerti raja’. Maka ada proses rohaniah nan mesti dilewati, agar dapat meraih tingkat spiritual karakter raja’ nan sejati. Adapun tingkatan spiritual karakter raja’ adalah:

Pertama, mengingat karunia Allah nan telah lampau terhadap hambanya, sesungguhnya banyak karunia Allah nan telah dianugerahkan kepada kita.

Kedua, mengingat janji Allah berupa pahala-Nya nan besar, besarnya kemuliaan dan kemurahan tanpa diminta oleh hambanya, lantaran Allah memberikan karunia kepada hamba, Walaupun dia tidak berkuasa menerimanya selama dia istiqamah sebagai manusia.

Ketiga, mengingat nikmat-nikmat Allah nan telah diberikan kepadamu dalam urusan agamamu, badanmu dan duniamu dalam segala keadaan. Dia memberimu nikmat nan telah besar tanpa diminta dan tanpa penuntutan hak.

Keempat, mengingat luasnya rahmat Allah ta’ala dan bahwa Ia mengalahkan murka-Nya. Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Kaya dan Maha Pemurah, sangat cinta kepada para hambanya nan mukmin. Maka, untuk mewujudkan angan kudu dibangun di atas pengenalan kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. (Al-Munajjid, 2004: 56-57)

Keutamaan Karakter Raja’

Karakter raja’ perlu diinternalisasi dalam diri berbentuk perilaku dan kudu ditransformasi pada kehidupan nyata. Sebab, karakter raja’ memiliki pengaruh nan sangat seknifikan baik semasa hidup di bumi maupun di alambaka kelak. Berikut inui adalah keistimewaan karakter raja’ bagi pelakunya, yakni:

1. Karakter raja’ merupakan kepribadian kaum beriman, berhijrah dan berjihad.

Firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang nan beriman, orang-orang nan berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.” (QS. Al-Baqarah: 218)

2. Karakter raja’ selalu berpikir positif.

Diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain dari sabda Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW beliau bersabda:

Allah SWT berfirman, ‘Aku berada pada sangkaan hamba-Ku tentang Aku.’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

3. Karakter raja’ terinternalisasi dari dalam diri secara sadar.

Sabda Nabi SAW:

“Maka hendaklah dia menyangka tentang Aku menurut kehendaknya.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi)

***

4. Karakter raja’ tertranformasi sepanjang kehidupan hingga ajal menjeput.

Rasulullah SAW bersabda:

“Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia berbaikan sangka terhadap Allah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

5. Karakter raja’menjadikan sang hamba berpikir positif pada makhluk dan Khaliq. Karena raja’ adalah bentuk rasa cinta.

Allah telah mewahyukan kepada Daud AS, “Cintailah Aku, Cintailah orang nan mencintai Aku dan buatlah Aku mencintai hambaKu.”

Daud berkata, ” Wahai Rabbi,  gimana saya membikin Engkau mencintai hambaMu?”

Allah menjawab, “Sebutlah Aku dengan sangkaan nan baik,  sebutlah karunia dan pemberianKu.”

6. Tranformasi karakter raja’ semasa hidup di bumi bakal berpengaruh di alambaka kelak.

Dari Mujahid ra, dia berkata, “Seorang hamba diperintahkan untuk ke neraka pada Hari Kiamat.

Lalu hamba itu berkata, “Aku tidak pernah menyangka nan seperti ini.”

Allah bertanya, “Lalu apa nan engkau sangkakan?”

Hamba itu menjawab, “Engkau mengampuni dosaku.”

Allah berfirman, “Beri dia jalan (ke surga).”

Tanda-tanda Karakter Raja’

Adapun tanda-tanda seseorang hamba itu mempunyai karakter raja’ adalah:

1. Menghadap kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah dan ketaatan.

Firman Allah:

“(Apakah kamu, hai orang musyrik nan lebih beruntung) ataukah orang nan beragama di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang dia takut kepada (azab) alambaka dan mengharap rahmat Tuhan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 9)

2. Berdoa dan banyak bersandar kepada Allah SWT.

Firman Allah:

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak bakal diterima) dan minta (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah banget dekat kepada orang-orang nan melakukan baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

3. Mengikuti sunnah Rasulullah Saw.

Firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan nan baik bagimu, (yaitu) bagi orang nan mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat.” (QS. Al-Ahzab: 21)

4. Tidak panjang angan-angan.

Firman Allah:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti bakal datang.” (QS. Al-Ankabut: 5)

5. Berprasangka baik kepada Allah SWT.

6. Bertaubat dan mengintrospeksi diri.

7. Bersabar terhadap pahala, berterima kasih atas nikmat.

8. Istiqomah pada sunnah dan meninggalkan larangan nan ada di dalam agama.

Derajat Karakter Raja’

Derajat pertama, derajat nan mendorong seseorang nan beramal untuk sungguh-sungguh dalam beribadah, apalagi melahirkan kelezatan dalam beribadah, sekalipun ibadah tersebut berat dan sulit. Dia merasakan kelezatan dan meninggalkan perkara-perkara nan dilarang. Barang siapa mengetahui ukuran nan dicari, bakal mudah baginya untuk berkorban padanya. Barang siapa mengharapkan untung nan besar dalam perjalanannya, bakal terasa ringan baginya kesulitan perjalanan.

Demikian juga kawan jujur nan berupaya mendapatkan keridhaan Tuhan bakal terasa ringan olehnya kesulitan dalam menunaikan salat subuh, wudhu dengan air dingin bakal tersesaringan pula olehnya kesulitan berjihad, haji, umrah, mencari ilmu, dan mengulang-gulangi hafalan, letihnya badan di waktu malam, laparnya puasa, apalagi berubah menjadi kenikmatan!

Derajat kedua, orang nan bermujahadah mengendalikan diri-diri mereka dalam meninggalkan nan telah mereka senangi, menggantikan hal-hal nan disenangi dengan perkara nan lebih baik. angan mereka adalah sampai kepada tujuan dengan semangat nan tinggi.

Hal ini nan mengharuskannya untuk mempunyai pengetahuan dan menguasai hukum-hukum kepercayaan lantaran angan mereka tergantung kepada ilmu-ilmu nan dimilikinya, maka mereka kudu mempunyai ilmu, mengarahkan seluruh tenaga dengan pengetahuan pengetahuan belajar dan mengendalikan diri agar berdiri pada batas, baik dalam rangka pencarian maupun pencapaian maksudnya diinginkan.

Derajat ketiga, angan para pemilik hati untuk berjumpa dengan sang Khaliq dan kangen kepada-Nya. Inilah nan menjadikan manusia bersikap zuhud di bumi dengan sempurna (bentuk tertinggi). (Al-Munajjid,  2004: 65-66)

Tiga derajat karakter raja’ di atas sesuai dengan firman Allah:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebaikan nan saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beragama kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Juga firman Allah nan berbunyi:

“Barangsiapa nan mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dialah nan Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 5)

Hakikat Karakter Raja’

Menurut Said Hawwa, raja’ juga terdiri atas hal, pengetahuan dan amal. Ilmu adalah karena nan membuahkan hal, sedangkan perihal menuntut kebaikan perbuatan. Jadi, raja’ adalah nama dari ketiga perkara tersebut.

Bahwa setiap perihal nan Anda hadapi, baik perihal nan tidak disukai maupun nan disenangi, terbagi menjadi sesuatu nan ada sekarang, sesuatu nan ada di masa lampau dan sesuatu nan kelak di masa nan bakal datang. Bila sesuatu nan ada di masa lampau itu membayang dalam pikiran Anda maka perihal itu disebut ingatan dan kenangan.

Jika apa nan ada di dalam hati Anda adalah sesuatu nan ada di masa sekarang Maka itu disebut wajd (keterpesonaan), dzauq (cita rasa) dan idrak (persepsi). Ia disebut wajd lantaran dia merupakan keadaan nan Anda dapat di dalam diri Anda.

Jika apa nan membayang dalam pikiran Anda itu sesuatu nan ada di masa nan bakal datang dan perihal itu mendominasi hati Anda maka dia disebut penantian dan perkiraan. Jika nan dinanti itu sesuatu nan tidak disukai nan menimbulkan rasa sakit di dalam hati maka itu disebut khauf (rasa takut) dan isyfaq (cemas).

Jika nan dinanti itu sesuatu nan disenangi, nan dalam penantiannya bergantungnya hati kepadanya dan membayangnya dalam pikiran itu memberikan kelezatan dan kesenangan di dalam hati maka kesenangan itu disebut raja’ (harapan).

Raja’ (harapan) adalah kesenangan (irtiyah) hati untuk menantikan apa nan disenangi dan dinantikan itu haruslah mempunyai sebab. Jika penantiannya itu lantaran keberadaan sebab-sebabnya nan sangat banyak maka julukan raja’ adalah sesuai dengannya. Tetapi jika penantian itu kehilangan sebab-sebabnya dan goyah maka julukan keterpedayaan dan kedunguan adalah lebih tepat daripada raja’. Jika sebab-sebabnya tidak diketahui keberadaannya dan tidak diketahui manfaatnya maka julukan khayalan lebih tepat untuknya daripada penantiannya; lantaran dia merupakan penantian tanpa adanya sebab.

Orang-orang nan mempunyai hati mengetahui bahwa bumi adalah ladang untuk bercocok tanam bagi akhirat. Hati laksana tanah sedangkan ketaatan laksana bibit nan disemai di dalamnya. Sementara beragam ketaatan melangkah seiring dengan pengolahan tanah pembersihannya, pembuatan irigasi dan pengairan tanah tersebut.

Hati nan gandrung dan tenggelam dalam keduniaan tak ubahnya seperti tanah keras nan tidak menumbuhkan benih.

Motivasi Karakter Raja’ secara Psikologis

Ibnu Qudamah menjelaskan, obat minta itu dibutuhkan dua orang, yaitu:

Pertama, orang nan telah dikuasai rasa putus asa sehingga dia meninggalkan ibadah.

Kedua, orang nan telah dikuasai rasa takut sehingga diri dan keluarganya merasa terancam bahaya.

Sedangkan orang nan durhaka lagi tertipu, nan berambisi terhadap Allah sembari beralih dari ibadah, maka tidak ada nan bisa dia pergunakan selaras dengan haknya selain obat rasa takut. Sebab obat haram justru berbalik menjadi racun bagi dirinya, sebagaimana madu nan menyembuhkan bagi orang nan kedinginan bakal berubah menjadi penyakit bagi orang nan badannya terlalu panas.

Karena itu orang nan biasa memberikan nasehat kepada orang lain bersikap lemah lembut, memperhatikan letak penyakit, mengobati segala penyakit dengan obat nan pas. Pada era sekarang ini tidak tepat lagi menggunakan penyebab angan untuk menghadapi manusia, tapi kudu menggunakan cara-cara nan menimbulkan rasa takut. Dia bisa menggunakan penyebab angan jika maksudnya untuk menarik hati dan untuk mengobati orang nan betul-betul sudah jatuh sakit.

Ali Bin Abi Thalib ra berkata, “Orang nan pandai adalah nan tidak membikin manusia merasa putus asa terhadap rahmat Allah dan tidak membikin mereka merasa kondusif dari tipu daya Allah.”

Jika engkau sudah mengetahui perihal itu, maka ketahuilah bahwa penyebab angan ada nan melalui jalan i’tibar dan ada pula melalui jalan pengabaran. Jalan nan i’tibar adalah dengan memperhatikan semua penjelasan nan sudah kami sampaikan tentang jenis-jenis nikmat hamba-hamba-Nya di dunia, mengetahui keajaiban-keajaiban hikmah nan diciptakan-Nya dalam fitrah manusia, mengetahui bahwa kemurahan Ilahi tidak terbatas pada hamba-hamba-Nya nan berangkaian dengan kemaslahatan mereka nan mendetil di dunia,  Dia tidak ridha jika mereka menuntut mereka pada kebinasaan nan abadi. Sesungguhnya Siapa nan murah hati di dunia, maka dia juga bakal murah hati di akhirat, karena nan menangani semua urusan di bumi dan di alambaka adalah satu. (Qudamah, 2017: 379)

Maka motivasi karakter kudu dilakukan kepada: (1) orang nan telah dikuasai rasa putus asa sehingga dia meninggalkan ibadah; dan (2) orang nan telah dikuasai rasa takut sehingga diri dan keluarganya merasa terancam bahaya. Sebab,tanpa motivasi karakter raja’,  maka derita jiwa mereka bakal bertambah.

Hikmah Memiliki Karakter Raja’

Adapun hikmah dari mempunyai karakter raja’ adalah:

Pertama, membangkitkan semangat bermujahadah dalam beramal.

Kedua, membangkitkan konsistensi ketaatan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun.

Ketiga,  seorang hamba merasakan kelezatan dan senantiasa antusias dalam menghadap diri kepada Allah, menikmati munajat dan berlemah lembut dalam meminta, serta tak bosan-bosan dalam bermohon kepada-Nya.

Keempat, menampakan penghambaan seorang hamba kebutuhan dan ketergantungannya kepada Rabb lantaran dia tidak bisa melepaskan dari karunia dan kebaikan-Nya, walaupun hanya sekejap mata.

Kelima, sesungguhnya Allah mencintai para hamba-Nya jika mereka meminta kepada-Nya, mengharapkan-Nya dan terus-menerus berdoa, lantaran dia adalah Dzat nan Maha Mulia dan Maha Pemurah jika diminta dan paling luas pemberian-Nya. nan paling dicintai oleh Dzat nan Maha Pemurah dan Maha Mulia adalah diminta oleh manusia agar Dia memberikan kepada mereka, dan Dia murka kepada orang nan tidak meminta kepada-Nya. Orang nan meminta pada umumnya berambisi dan menuntut untuk diberi. Barang siapa nan tidak mempunyai angan kepada Allah, maka Allah murka kepadanya. Di antara buah raja’ adalah selamat dari muka Allah.

Keenam, raja’ adalah kecondongan, ialah condongnya seorang hamba dalam perjalanan menuju Allah, sehingga perjalanan menjadi menyenangkan, terdorong untuk senantiasa berjalan, dan bangkit untuk komitmen. Kalau tidak ada raja’ (harapan), ialah dengan dilipatgandakannya rahmat dan pahala, tentu tidak ada seorangpun nan sanggup berjalan. Hati digerakkan oleh rasa cinta dan rasa takut serta dicondongkan oleh harapan.

***

Ketujuh, tidak merasa beban dalam memenuhi tuntutan cinta kepada Allah. Semakin besar harapan, maka bakal diperoleh apa nan diharapkan, hingga bertambah pula cinta, syukur dan Ridhanya kepada Allah. Ini adalah tuntutan dan rukun-rukun ubudiyah (penghambaan).

Kedelapan, angan membangkitkan seorang hamba untuk meraih kedudukan syukur. Dia terdorong untuk sampai kepada tingkatan syukur atas semua nikmat-Nya, dan inilah intipati ibadah.

Kesembilan, raja’ mengharuskan bertambahnya pengenalan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Kesepuluh, seorang hamba jika hatinya terikat oleh harapannya kepada Allah, maka Allah bakal memberinya sesuai harapannya, hingga bangkitlah semangat untuk meminta lebih dan lebih antusias untuk menghadap kepada Allah. Demikianlah, hingga keagamaan dan kedekatannya kepada Dzat nan Maha Pengasih dan Penyayang semakin bertambah dari waktu ke waktu.

Kesebelas, seorang hamba mendapatkan kebahagiaan pada hari hariakhir seukuran dengan rasa takut dan minta nan dimilikinya, ialah mendapatkan harapannya nan agung berupa keridhaan Allah, surga dan memandang wajah Allah ta’ala. (Al-Munajjid, 2004: 59-61)

Tentu hikmah tersebut dapat dirasakan bagi sang hamba nan telah hambu menginternalisasi dan mentransformasi karakter raja’ dalam prilaku kesehariannya.

Kontekstualisasi Karakter Raja’ dalam Kehidupan

1. Harapan nan disertai kebaikan sebagai motivasi keistiqamahan dalam kebaikan.

Firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang nan beriman, orang-orang nan berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 218)

2. Allah Azza wa Jalla membukakan pintu angan kepada para hamba-Nya berupa pemaafan dosa apa saja.

Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa nan lain dari syirik itu bagi siapa nan dikehendakiNya.” (QS. An-Nisa: 116).

3. Terbangun optimisme dengan selalu berambisi pada ampunan-Nya nan tak terbatas.

Firman Allah:

“Apabila orang-orang nan beragama kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salamun alaikum.Tuhanmu telah menetapkan atas diriNya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya Barangsiapa nan melakukan kejahatan di antara Anda lantaran kejahilan, kemudian dia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 54).

***

4. Harapan terbuka apalagi untuk urusan bumi mengharapkan harta, anak, pasangan, pekerjaan, hilangnya sakit dan ditemukannya lebih parah nan hilang.

Firman Allah:

“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah buletin tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan Anda berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melahirkan kaum nan kafir.” (QS. Yusuf: 87)

5. Selalu berprasangka baik kepada Allah dan membangun komitmen hidup nan optimis.

Firman Allah:

“Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu nan melampaui pemisah terhadap diri mereka sendiri, janganlah Anda berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah nan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

6. Terbukulnya tali angan nan agung kepada Allah. Bahwa pembebasan Allah mendahului daripada balasan dan murkanya.

Firman Allah dalam Hadis Qudsi:

“Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berambisi kepada–Ku, maka Aku mengampuni segala dosamu nan telah lalu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosamu sampai setinggi langit lampau engkau meminta maaf kepada–Ku niscaya Aku ampuni. Wahai anak Adam, jika engkau datang kepada–Ku dengan kesalahan seluas bumi lampau engkau menemui–Ku tanpa menyekutukan sesuatu pun dengan–Ku niscaya Aku datang kepada–Mu dengan pembebasan seluas bumi pula.” (HR. Tirmidzi)

7. Selalu berpikiran positif dalam segala situasi dan kondisi.

Sabda Rasulullah SAW:

“Aku menurut prasangka hamba–Ku. Aku bersamanya jika dia mengingatKu maka hendaklah hamba–Ku terprasangka menurut kehendaknya.” (HR. Ahmad)

8. Optimisme kudu dibangun sampai datang mau menjemput.

Sabda Rasulullah SAW:

“Janganlah kalian meninggal selain berbaikan sangka kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)

9. Senantiasa selalu memerlukan Allah dalam kehidupan

Sabda Rasulullah SAW:

“Barang siapa nan suka untuk berjumpa dengan Allah, maka Allah pun suka untuk berjumpa dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami, bahwa karakter raja’ perlu diinternalisasi, aktualisasi dan ditransformasi dalam kehidupan nyata, agar terbangun pikiran positif sebagai komitmen spiritualitas sebagai manusia-tauhid. Sehingga tidak terban tempat berbijak dan tidak lemah tempat bergantung, serta tidak goyah tempat bersandar.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id