Isra’ Mi’raj dalam Perspektif Fisika Modern - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 2 hari yang lalu

Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah salah satu peristiwa mukjizat yangg luar biasa. Dalam satu malam, Nabi Muhammad melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra’) dan melanjutkan perjalanan vertikal ke Sidratul Muntaha (Mi’raj). Peristiwa ini menembus batas ruang, waktu, dan logika manusia. Jika dianalisis dengan perspektif pengetahuan fisika modern, terdapat kemungkinan bahwa Isra’ Mi’raj melibatkan kejadian yangg jauh melampaui kapabilitas teknologi dan teori fisika konvensional.

Kecepatan Cahaya

Albert Einstein melalui Theory of Relativity menyatakan bahwa tidak ada entitas material yangg bisa melaju dengan kecepatan melampaui alias apalagi mencapai kecepatan sinar 3 × 10⁸ m/s alias 299.792 km/s. Jika sesuatu melaju mendekati kecepatan cahaya, daya yangg dibutuhkan menjadi tidak terbatas, dan waktu bagi pelaju tersebut bakal melambat (time dilation).

Namun, kendati mungkin perjalanan Nabi Muhammad SAW dapat melibatkan kecepatan tinggi, penjelasan ini mempunyai keterbatasan: Pertama, Waktu Terbatas. Meskipun dengan kecepatan cahaya, perjalanan semalam (kurang lebih 8 jam) tidak cukup untuk menjangkau alam semesta lain alias apalagi lintas galaksi. Diameter galaksi Bima Sakti diperkirakan sekitar 100.000 tahun cahaya.

Jika Rasulullah SAW melakukan perjalanan dari Bumi ke ujung galaksi Bima Sakti, jaraknya adalah sekitar 9,4 x 10¹⁷ km. Sedangkan waktu yangg dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut dengan kecepatan sinar adalah 100.000 tahun. Artinya, untuk sampai diujung galaksi Bima Sakti saja kita butuh 100.000 tahun dengan kecepatan sinar (299.792 km/detik), padahal jagat raya yangg sudah sukses diamati oleh manusia terdiri dari ratusan apalagi jutaan galaksi (apakah berfaedah ini tetap langit pertama?).

Kedua, Titik Tujuan Non-Material. Sidratul Muntaha tidak sekadar entitas bentuk dalam semesta material, tetapi mungkin merujuk pada realitas non-material, melibatkan dimensi yangg sepenuhnya berbeda dari konsep ruang dan waktu.

Kendaraan Buroq

Buroq, kendaraan yangg membawa Nabi Muhammad SAW, digambarkan sebagai makhluk berbasis cahaya. Dalam pandangan pengetahuan pengetahuan, sinar mempunyai sifat dualitas (partikel dan gelombang) yangg memungkinkan daya sinar bergerak dengan kecepatan luar biasa. Jika Buroq dipahami sebagai entitas berbasis cahaya, maka dia beraksi dalam dimensi yangg berbeda dari materi biasa.

Lebih jauh, dalam Al-Qur’an, malaikat digambarkan mempunyai “sayap” yangg mengindikasikan kecepatan luar biasa. Kecepatan ini bisa dipahami sebagai kecepatan lebih tinggi dari sinar (“supra-light speed”), yangg berada di luar jangkauan keahlian teknologi manusia saat ini. Konsep ini juga didukung oleh teori relativitas Einstein, yangg menyatakan bahwa barang dengan massa nol, seperti foton (partikel cahaya) dapat bergerak dengan kecepatan sinar tanpa batas energi.

Alternatif Pertama: Wormhole

Dalam surat An-Najm (53:1-18), dijelaskan gimana Nabi Muhammad SAW diperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah. Ayat-ayat tersebut menyiratkan keterlibatan dimensi yangg melampaui persepsi bentuk manusia biasa. Fenomena ini mirip dengan konsep wormhole alias lubang cacing dalam fisika teoretis, di mana perjalanan antar-dimensi alias melintasi ruang-waktu secara instan menjadi mungkin.

Teori fisika modern memberikan konsep pengganti seperti wormhole alias jembatan Einstein-Rosen. Wormhole memungkinkan perjalanan instan melalui shortcut antar-dimensi ruang-waktu lantaran pengganti ini menghubungkan dua letak yangg berjauhan di alam semesta. Penemuan ini bukan lagi sekadar teori fiksi ilmiah, tetapi mempunyai landasan teoritis dari relativitas umum Einstein, meskipun belum dapat dibuktikan secara empiris. Dalam konteks Mi’raj, portal wormhole bisa digunakan untuk menjelaskan gimana Nabi Muhammad:

Pertama, Melintasi Dimensi Lain. Dalam tradisi Islam, langit yangg dimaksud mungkin tidak berkarakter bentuk melainkan lapisan dimensi yangg bertingkat, seperti multiverse. Kedua, Pertemuan dengan Para Nabi. Jika alam semesta ini adalah bagian dari multiverse, kemungkinan adanya bumi alias realitas di mana para nabi sebelumnya tetap “hidup” sesuai kehendak Allah bisa diterima secara konseptual.

Alternatif Kedua: Mesin Waktu

Isra’ Mi’raj tidak hanya melibatkan perjalanan mendatar dari Mekah ke Yerusalem, tetapi juga perjalanan vertikal menuju Sidratul Muntaha. Hal ini seolah menggambarkan Nabi Muhammad SAW keluar dari dimensi ruang-waktu linear dan memasuki dimensi non-linear alias melakukan perjalanan ke masa lampau alias masa depan.

Dalam konteks ini, konsep mesin waktu relevan untuk menjelaskan gimana Nabi SAW bisa berjumpa dengan nabi-nabi terdahulu seperti Nabi Adam, Nabi Musa, dan Nabi Isa, meskipun mereka telah meninggal. Selain itu juga, Nabi Muhammad ditunjukkan siksaan di neraka yangg mengasumsikan bahwa beliau juga melakukan perjalanan ke masa depan.

Surat An-Najm ayat 14-18 menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW diperlihatkan “tanda-tanda yangg sangat besar”. Hal ini menunjukkan keterlibatan dimensi yangg tidak terikat oleh waktu sebagaimana manusia pahami. Dalam dimensi ini, masa lalu, masa sekarang dan masa depan bisa saling terhubung. Teori relativitas waktu mendukung kemungkinan ini, di mana kecepatan tinggi alias gravitasi ekstrem dapat memengaruhi jalannya waktu.

Alternatif Ketiga: Langit Ketujuh dan Multiverse

Langit yangg dijelaskan dalam Isra’ Mi’raj bisa dianalogikan dengan asumsi multiverse, ialah teori yangg menyatakan bahwa alam semesta kita hanyalah satu di antara banyak alam semesta yangg eksis. Menariknya, para nabi terdahulu seperti Nabi Musa dan Nabi Isa, yangg telah meninggal dalam dimensi bumi kita, bisa jadi tetap eksis dalam dimensi lain.

Bukti pendukung dari fisika modern: Pertama, Teori String. Menyatakan adanya dimensi ekstra di alam semesta yangg tak bisa kita pahami alias akses dalam kondisi normal. Kedua, Quantum Mechanics. Partikel bisa berada di dua letak sekaligus (quantum superposition), yangg membuka kesempatan adanya kejadian “keberadaan simultan” dalam dimensi berbeda.

Dimensi Metafisika dalam Isra’ Mi’raj

Selain sains modern, krusial untuk mencatat bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj tidak bisa sepenuhnya dijelaskan melalui fisika alias teknologi konvensional. Mukjizat sifatnya melampaui logika manusia. Namun, sebagai Muslim yangg memahami bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebenaran, pendekatan pengetahuan tidak mengurangi iman, tetapi memberikan rasa kekaguman yangg lebih besar kepada Sang Pencipta.

Al-Qur’an menyatakan:

سُبْحَانَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَى ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

Artinya: “Maha Suci (Allah) yangg telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yangg telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra: 1).

Meskipun tetap menjadi misteri, kejadian ini memperlihatkan luasnya kuasa Allah SWT yangg menciptakan langit, bumi, dan dimensi yangg tak terjangkau logika manusia. Studi semacam ini membuka kesempatan bagi umat Islam untuk merenungkan hubungan sains dan agama, memahami alam semesta dan menjelajahi pengetahuan untuk menambah keyakinan. Dengan demikian, sains modern bukan menjadi perangkat untuk menafikan mukjizat, tetapi memperkuat keimanan. Wallahu a’lam.

Editor: Soleh

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id