Islamisme itu Merusak dan Menyempitkan Citra Islam - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Arab Spring boleh dikatakan sebagai puncak dari perjalanan Islamisme secara dunia dan juga menjadi permulaan dari kejatuhannya. Pasca medio 2011-2015, tidak ada golongan Islamis yangg sukses memenangkan pertarungan kerakyatan di negara manapun. Jikapun ada yangg berpikir bahwa kemenangan Recep Erdogan dan Dato’ Anwar Ibrahim sebagai salah satu kemenangan Islamis, saya bisa membantah pendapat itu dengan memberikan pertanyaan, “Apakah mereka itu Islamis?”.

Apa itu Islamisme?

Sebelum berbincang lebih lanjut, barangkali defenisi Islamisme perlu disepakati terlebih dahulu, dengan tetap menghindari reduksi makna namun ringkas. Sederhananya, Islamisme adalah aktivitas politik yangg memegang satu dari dua tujuan: berdirinya negara Islam alias dijalankannya norma Islam secara konstitusional. Dengan memandang narasi politik Erdogan dan Dato’ Anwar, mudah untuk mengatakan bahwa mereka bukan (lagi) Islamis, dan jikapun dipaksakan, istilah “Post-Islamisme” dari Asef Bayat bakal lebih tepat untuk digunakan.

Meski Islamisme sudah mulai mereda eksistensinya, tetap banyak orang yangg tetap terjebak dalam narasi-narasi politik yangg ditawarkan, apalagi kekeh bahwa memperjuangkan Islamisme adalah tanggungjawab agama. Saya berasumsi bahwa mereka tetap susah membedakan antara Islamisme dan Islam. Bahkan, mereka tetap berfikir bahwa konsep politik dalam Islam itu hanya ada satu corak ialah Islamisme. Mengapa yangg demikian terjadi? Jawabannya cukup sederhana: kekalahan pengetahuan pengetahuan dari doktrin ideologis. Sudah alamiah jika seseorang terlalu ekstrem terhadap satu ideologi maka dia buta terhadap keluasan pengetahuan pengetahuan. Tulisan bakal mendiskusikan sejauh mana perbedaan antara Islamisme dan Islam sebagai satu upaya pencerahan. Argumen utama Wael Hallaq dalam The Impossible State layak menjadi garis startdalam obrolan ini, yaitu: Negara Islam secara esensial merupakan perihal yang self-contradicted(mengkontradiksi dirinya sendiri).

***

Argumen Hallaq mungkin agak susah dicerna pikiran jika premis yangg membawanya ke sana tidak dijelaskan, begitupula susah untuk mengaitkannya dalam topik perbedaan Islamisme dan Islam. Setidaknya, Hallaq berdiri di atas tiga premis untuk argumennya. Pertama, negara modern (modern state) adalah konsep yangg tidak relevan dengan aliran Islam, apalagi dengan kepercayaan apapun. Perlu diketahui model negara modern menekankan pada supremasi otoritas manusia dan menafikan otoritas apapun selain itu termasuk agama. Kedua, negara modern sangat berjuntai pada sistem norma positif (state law) dan mereduksi moralitas pada tatanan personal. Sementara norma Islam tidak bisa dibatasi pada norma yangg dibuat manusia saja, lebih lagi moralitas adalah prinsip dari norma Islam. Ketiga, konsep politik dalam Islam hanya mengenal kedaulatan syariah di atas kedaulatan pemimpin, sebagai contoh Al-Farabi dan Al-Mawardi menekankan bahwa seorang pemimpin berkuasa tidak dipatuhi jika dia melanggar syariah (bukan dalam makna norma Islam saja, tapi termasuk persoalan moral).

Ketiga premis ini tentunya kontradiktif dengan apa yangg disebut sebagai negara modern, dimana kedaulatan (mutlak) pemimpin tidak bisa dihindari, norma tidak meyorot aspek moralitas secara serius, dan otoritas kepercayaan betul-betul dihilangkan. Maka mengaitkan Islam dan Negara Modern adalah satu perihal yangg mustahil (Impossible). Namun perlu diperhatikan, bahwa Hallaq tidak mengkritisi Islam alias norma Islam dalam bukunya. Bahkan (sebagai siswa dan pembaca bukunya) saya katakana bahwa Professor Hallaq sedang mengkritisi bobroknya model negara modern, sementara Islam sudah menawarkan perihal paling ideal yangg ironisnya tidak bisa diaplikasikan dalam negara modern yangg bermasalah. Kembali kepada Islamisme, salah satu dari dua cita-cita mereka adalah mendirikan negara Islam, tentunya dalam konteks negara modern. Bukankah mungkin untuk mengatakan bahwa mereka sedang mengejar sesuatu yangg secara konsep mustahil?

Negara Islam Bukan Satu Hal yangg Islami

Bahkan jika ditelaah lebih lanjut, sangat memungkinkan bagi kita untuk mengatakan bahwa Negara Islam bukanlah satu perihal yangg Islami alias punya akar dalam aliran Islam. Barangkali tetap banyak yangg mengira bahwa Al-Qur’an dan Hadits sudah menyediakan konsep negara, alias mengatakan bahwa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah adalah sebuah negara. Anggapan ini sangat bermasalah, lantaran konsep politik dalam Islam menekankan pada dua hal: moralitas pemimpin dan rakyat; perlindungan manusia dari kezaliman. Tidak ada satupun ustadz klasik sebelum dikenalkannya konsep negara modern oleh Eropa, yangg pernah menyebut alias menyuarakan negara Islam. Dengan demikian, bisa saja dikatakan bahwa para Islamis sama sekali tidak mengejar sesuatu yangg ditawarkan oleh Islam dan tradisi keilmuan Islam?

Jikapun kita menafikan tujuan pertama mereka dan mengambil tujuan kedua: menjalankan norma Islam secara konstitusional sebagai bahan diskusi. Masih saja ditemukan kerancuan pikiran para Islamis, yangg nantinya bakal menunjukkan bahwa Islamisme itu tidak Islami. Sekali lagi, satu poin yangg disorot oleh Professor Hallaq punya sangat krusial dalam obrolan ini, yaitu: norma Islam tidak sesempit norma negara modern. Mungkin perihal ini susah dipahami oleh orang yangg tidak mempelajari norma Islam dan norma negara secara mendalam. Tetapi secara sederhana keduanya bisa dibedakan secara jelas.

***

Pertama, norma Islam mencakup aspek moralitas perseorangan dan publik, ditandai dengan eksisnya lima opsi norma suatu perbuatan: wajib, haram, mandub/sunnah, makruh, dan mubah. Dari kelima opsi ini, hanya wajib dan haram saja yangg punya kemungkinan untuk ditegakkan secara public oleh penegak hukum. Tentunya tidak masuk logika jika ada penegakan norma dalam perkara mubah dan sunnah. Sementara norma negara hanya mengenal perintah, pembolehan alias larangan; lantaran ketiganya bisa ditegakkan secara public (terlebih lagi norma negara tidak mengurus persoalan privat).

Kedua, norma Islam tidak punya keperluan pada otoritas politik untuk dijalankan, artinya tanpa adanya lembaga pengawasan hukumpun, norma Islam bisa dijalankan alias dalam banyak persoalan kudu dijalankan. Sebagai contoh, meskipun tidak ada yangg mengawasi dari negara alias siapapun, berpuasa di bulan Ramadhan tetap suatu kewajiban, menghindari makanan haram juga tidak gugur. Ketiadaan pengawasan (judikatif) alias pembuatan patokan (legislatif) tidak mengubah norma tersebut. Sementara konsep norma negara modern, otoritas politik adalah satu perihal yangg krusial, tanpanya norma bisa tidak ditaati seperti dalam keadaan vacuum power.

Pada dasarnya ada beberapa aspek lainnya yangg menggambarkan bahwa norma Islam jauh lebih komprehensif disbanding norma negara. Memaksakan penjalanan norma Islam secara konstitusional sama saja dengan memangkas dan merusak gedung norma Islam sendiri. Kembali ke Islamisme, sekali lagi bisa dikatakan bahwa apa mereka kejar alih-alih memuliakan norma Islam, justru mereka merusaknya. Apakah merusak norma Islam adalah sesuatu yangg Islami?

*Artikel merupakan hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID

Editor: Yahya FR

-->
Sumber ibtimes.id
ibtimes.id