MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Kematangan literasi digital menjadi salah satu masalah bagi negara berkembang seperti Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI merilis data bahwa pada triwulan pertama 2023 terdapat 425 rumor hoax.
Dengan jumlah rumor sebanyak itu, jumlah produksi konten hoax diperkirakan berkali lipat jumlahnya. Uniknya, produksi rumor dan konten hoax semakin meningkat ketika berdekatan dengan momentum politik.
“Ini adalah yangg paling berat ya konten tiruan dan ini, hari-hari ini selalu datang apalagi menjelang Pemilu. Ini makanan sehari-hari masyarakat kita ketika konektivitas digital sudah semakin tinggi,” ungkap Wakil Ketua IV Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Makroen Sanjaya pada Pengajian Bulanan PP Muhammadiyah, Jumat (22/9).
Keadaan seperti ini, menurutnya menjadi semacam sebagai wake up call (panggilan kesadaran) bagi Persyarikatan untuk bergerak lebih proaktif. Mengingat jumlah pengguna gawai di Indonesia merupakan terbesar keempat di dunia.
“Di Indonesia ini ada 800 situs penyebar hoax. Jadi memang luar biasa. Jadi masyarakat kita ini tenggelam dengan isu-isu hoax nyaris setiap hari,” ujar Makroen. Potensi terpapar itu juga makin parah oleh tipologi masyarakat Indonesia yangg sering scrolling media sosial untuk mengisi waktu luang.
Direktur Utama PT. Muhammadiyah Surya Utama (TVMU) itu lantas merinci bahwa ekspresi hoax itu terbesar dalam corak tulisan, lampau gambar, dan sebagian mini video seperti gimmick hingga satir. Ekspresi hoax itu juga muncul lewat beragam media sosial, terutama Tiktok.
“Jadi jika kita tanpa sadar ketika buka gadget kita tadinya mau nyari pertemanan, nyari info misalnya gitu yangg ada itu adalah banjir alias saturasi dari hoax,” kata Makroen.
Suburnya konsumsi rumor dan konten hoax kata dia didukung oleh tipologi masyarakat yangg tidak kritis dan tidak melakukan tabayun pada isu-isu yangg sedang mencuat.
Karena keadaan ini, Muhammadiyah dia harapkan untuk giat mendiseminasikan Fikih Informasi dari Majelis Tarjih dan Tajdid serta Kode Etik Netizmu (Akhlakul Sosmediyah) kepada penduduk Persyarikatan maupun kaum muslimin secara umum.
“Media sosial ini adalah sebagai sarana aktivitas praktek berkumpul secara online untuk beragam info yangg mencari informasi, pengetahuan, opini dengan menggunakan media percakapan. Tapi sekarang ini adalah menjadi arena fitnah, arena saling menghujat. Makanya dalam narasi ketika membangun kesalehan digital ini kita kudu cermati sama sekali bahwa kejadian yangg terjadi memang seperti itu,” kata Makroen. (afn)
Hits: 0