YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Masih dengan rutinitas yangg sama, Masjid Islamic Center UAD kembali menghadirkan sosok penceramah dengan topik yangg menarik untuk para jamaah. Pada malam ke-15 Ramadhan kali ini, topik dari pidato sendiri disampaikan langsung oleh ustadz Immawan Wahyudi, belau merupakan Wakil Bupati Gunung Kidul Periode 2011-2021, sekaligus Dosen Fakultas Hukum UAD.
Di awal ceramah, beliau menyampaikan bahwa Allah swt telah memberikan garis hidup yangg di dalamnya ada dosa dan kebaikan salih, serta dengan segala konsepnya. Posisi Allah swt itu tidak hanya sebagai kreator konsep, tetapi juga menginstruksikan dan menjadikan itu sebagai dasar yang disebut sebagai way of life (jalan hidup).
Segala macam norma yangg telah ditetapkan oleh Allah swt, pada dasarnya adalah menjadi instrumen agar manusia tetap menjadi manusia yangg mulia. Salah satu yangg sangat signifikan untuk memberikan gambaran tentang “bagaimana Allah memuliakan manusia” dalam konteks sedosa apapun, beliau paparkan bahwa Allah tetap memberikan kemuliaan padanya sebagaimana dalam surat Al-furqan ayat 68.
Secara spesifik, ayat ini menjelaskan bahwa orang muslim itu dilarang musyrik, membunuh dan berzina. Kemudian perihal tersebut ditegaskan kembali pada ayat berikutnya, ialah pada ayat ke 69. Maka intinya adalah sebesar-besar dosa orang yangg musyrik, membunuh, alias berzina, Allah bakal tetap mengampuni dengan tiga syarat yaitu, pertama; tobat. Hal ini tidak bisa diuraikan lantaran sudah menjadi satu instrumen yangg sangat strategis untuk memelihara kemuliaan umat manusia. Ali Bin Abi Thalib menggambarkan jika dosa manusia dari makanan dan itu mengakibatkan adanya daging pada tubuh, maka corak tobatnya adalah daging itu diiris agar lenyap dari kesatuan tubuh manusia.
Beliau kemudian melanjutkan syarat yangg kedua; adalah menegakkan kembali keimanan. Manusia tidak mungkin dapat kembali memelihara kemuliaannya andaikan tidak didasarkan lillahi ta’ala. Karena mencari ridha Allah itulah keagamaan yangg sungguh-sungguh. Jadi setelah melakukan dosa, maka diharuskan kembali kepada keagamaan dengan sungguh-sungguh. Lalu syarat yangg ketiga, adalah sekuat mungkin melakukan kebaikan salih dari yangg mini sampai yangg besar.
Dari beberapa dosa serta syarat-syaratnya untuk diampuni diatas, beliau memberikan pertanyaan “Bagaimana dengan dosa-dosa yangg inkonvensional?”. Inkonvensional itu kejahatan yangg menggunakan pedoman kekuasaan yangg diperoleh dari hasil masyarakat, kemudian melakukan dosa untuk masyarakat. Seharusnya kekuasaan yangg diperoleh dari masyarakat dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk kebijakan-kebijakan yangg positif, yangg mengikuti aspirasi masyarakat dan memelihara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada alinea ke-4.
“Dan itulah apa yangg kita saksikan di Negara kita sekarang ini. Korupsi bertriliun-triliun yangg menyebabkan distruksi yangg besar, bagi kehidupan ekonomi bangsa. Jika sudah begitu, lampau gimana caranya untuk meminta maaf? Hal ini tidak sama seperti yangg disebutkan dalam surah Al-Furqan ayat 69 diatas, lantaran ini menyangkut ratusan ribu apalagi jutaan kewenangan manusia yangg direnggut, sehingga banget sangat sulit. Naudzubillahi min dzalik. Jadi jangan dianggap kejahatan dan konvensional yangg berbasis kekuasaan, itu lebih ringan daripada membunuh, berzina, dan musyrik,” tegasnya. (Siti Kamaria)