Secara bahasa, kata hijab berasal dari fi’il sulatsi mujarrad dengan wazan ح-ج-ب (ha-ja-ba). Ibnu Faris, di dalam Mu‘jam Maqayis al-Lughah mengartikan kata tersebut sebagai al-man‘u (penghalang) (Ibn Faris, II: 143).
Jika dikatakan hajabahu ‘an kadza, maksudnya mana’ahu ‘anhu (menghalangi darinya –sesuatu). Ibnu Manzhur di dalam Lisan al-Arab mengartikan kata tersebut dengan as-satru (penutup/pelindung). Jika disebutkan hajaba as-syai’u berfaedah dimaksudkan satarahu (menutupinya) (Ibn Manzur, I: 298).
Dua makna secara linguistik ini sangat berangkaian erat dengan makna hijab secara istilah. Seperti di dalam al-Mausu’ah’ al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XVII: 5-8, disebutkan bahwa hijab al-mar’ah adalah as-satir alladzi sutira bihi jasaduhu, wa fihi hailulatun ‘an a’yun an-nazhirin min ar-rijal ghairi maharimiha (penutup yangg dipergunakan untuk menutup –aurat- tubuh wanita yangg berfaedah sebagai penghalang pandangan laki-laki yangg bukan mahramnya).
Sementara jilbab, pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah 18 dan 19 tahun ke-88/2003, disebutkan bahwa jilbab, berasal dari kata jalbaba yangg berfaedah memakai baju kurung.
Para ustadz berbeda pendapat mengenai makna jilbab. Sebagian ustadz mengartikannya baju kurung; sedang ustadz lain mengartikannya baju wanita yangg lenggang yangg dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary beranggapan bahwa jilbab adalah baju yangg dapat menutupi seluruh badan.
Ulama lain berpendapat, bahwa jilbab adalah kerudung wanita yangg dapat menutupi kepala, dada, punggung. (Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, di bawah makna jalaba). Menurut Ibnu Abbas, jilbab adalah jubah yangg dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah. (al-Qasimy, XIII: 4908). Menurut al-Qurtuby, jilbab adalah baju yangg dapat menutup seluruh badan. (al-Qurtuby, VI: 5325).
Kewajiban Menutup Aurat
Sesuai penjelasan di atas, maka dapat diambil konklusi bahwa hijab yangg dimaksud di sini adalah hijab al-mar’ah (pakaian yangg menutup aurat perempuan) alias sama artinya dengan jilbab, ialah baju kurung yangg menutup seluruh badan (aurat).
Menutup aurat agar terhindar dari pandangan orang yangg bukan mahram dengan memakai hijab alias jilbab hukumnya wajib bagi setiap wanita yangg telah baligh. Hal ini berasas firman Allah swt,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. nan demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal, lantaran itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Ahzab (33): 59].
“Dan katakanlah kepada wanita yangg beragama agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), selain yangg terbiasa terlihat, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya alias auratnya, selain kepada suami mereka, alias ayah mereka, alias ayah suami mereka, alias putra-putra mereka, alias putra-putra suami mereka, alias saudara-saudara laki-laki mereka, alias putra-putra kerabat laki-laki mereka, alias putra-putra kerabat wanita mereka, alias para wanita (sesama Islam mereka), alias hamba sahaya yangg mereka miliki, alias para pelayan laki-laki (tua) yangg tidak mempunyai kemauan (terhadap perempuan), alias anak-anak yangg belum mengerti tentang aurat perempuan. dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yangg mereka sembunyikan dan bertaubatlah Anda semua kepada Allah, wahai orang-orang yangg beriman, agar Anda beruntung” [QS. an-Nuur [24]: 31].
Tentang ayat وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ (Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka), Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa hendaklah kerudung dibuat lebar hingga menutupi dadanya, gunanya untuk menutupi bagian tubuh di bawahnya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi model wanita jahiliah.
الخُمْرُ adalah corak plural dari خِمَارٌ , ialah kain yangg digunakan untuk menutupi kepala, itulah yangg oleh orang banyak disebut kerudung.
Hal ini senada dengan yangg ada dalam kitab Tanya Jawab Agama Jilid IV Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadyah, terbitan Suara Muhammadiyah, tahun 2015, hlm. 237, bab Masalah Wanita, bahwa memakai kerudung yangg baik adalah sebagaimana disebutkan di dalam surah an-Nuur ayat 31.
Wig alias Rambut Palsu
Mengenai wig, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya adalah rambut tiruan (rambut buatan, rambut palsu) sebagai penutup kepala. Wig yangg umum digunakan oleh para wanita pada dasarnya ada dua macam, ialah rambut manusia original dan rambut tiruan dari bahan sintesis.
Wig dari rambut manusia original ada tiga jenis; pertama remy hair/rambut remi yangg 100% rambut manusia, tanpa diwarnai alias diolah secara kimia, akar rambut dan ujung rambutnya diatur searah; kedua human hair yangg 100 persen rambut manusia, tetapi antara akar rambut dan ujung rambutnya tercampur alias tidak diatur searah seperti rambut remi; ketiga campuran human hair, adalah rambut manusia yangg dicampur dengan serat bahan sintetis kualitas premium yangg tahan panas.
Ada pun wig dari bahan tiruan juga ada tiga jenis. Pertama, heat resistant synthetic, terbuat dari serat sintetis berbobot tinggi, tahan panas, bisa diperlakukan seperti rambut manusia dicuci dan catok, tetapi tidak bisa dicat dengan pewarna rambut manusia.
Kedua, kanekalon, 100 persen serat sintetis, paling diminati, kebanyakan wig sintetis terbuat dari serat ini lantaran meski agak berkilau tapi tetap terlihat seperti original dalam perihal warna dan tekstur, bahan dasar serat plastik dan lebih sigap kusut juga sangat mudah kusam/rusak.
Ketiga, toyokalon, 100 persen serat sintetis, bahan dasar plastik dan tidak terlihat seperti rambut manusia sama sekali, sering digunakan untuk pembuatan wig termasuk juga wig untuk kostum, lembut dan mudah kusut, warna dan tekstur rambutnya sangat tidak terlihat alami/terlalu berkilau.
Ada pun tentang wig alias rambut tiruan (menyambung rambut), disebutkan dalam beberapa sabda Nabi saw, antara lain:
“Dari Sa’id bin al-Musayyab (diriwayatkan), dia berkata; Mu’awiyah bin Abu Sufyan mengunjungi Madinah pada kunjungannya yangg terakhir lampau dia memberikan khuthbah sembari memegang jambul rambutnya, kemudian dia berkata; Aku belum pernah memandang seorang pun yangg melakukan perihal seperti ini selain orang Yahudi, dan sesungguhnya Nabi saw menamakannya dengan az-Zuur (kepalsuan), ialah menyambung rambut dengan rambut palsu” [HR. al-Bukhari nomor 3229].
“Dari Humaid bin ‘Abdur-Rahman bahwa dia mendengar Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun hajji (akhir masa pemerintahannya) berdiri di atas mimbar sembari memegang jambul rambutnya sedangkan di sampingnya ada pengawalnya lampau berkata; “Wahai masyarakat Madinah, mana ustadz kalian? Aku mendengar Nabi saw melarang perihal semacam ini dan beliau bersabda: Sesungguhnya Bani Isra’il lenyap lantaran para wanita mereka melakukan ini” [HR. al-Bukhari nomor 3209].
“Dari Abu Hurairah ra. (diriwayatkan) dari Nabi saw, beliau bersabda: Allah melaknat orang yangg menyambung rambutnya dan yangg minta disambung rambutnya dan melaknat orang yangg mentato dan yangg minta ditato” [HR. al-Bukhari nomor 5477].
Perbuatan Tabarruj
Berdasarkan keterangan tentang wig dan hadis-hadis di atas, maka norma memakai wig adalah dilarang, baik disambungkan maupun hanya dipasangkan di atas kepala. Jika yangg digunakan adalah wig dari bahan rambut original manusia, maka orang yangg menggunakannya termasuk yangg bakal mendapat laknat dari Allah.
Namun jika yangg digunakan adalah wig dari bahan sintetis, maka perihal tersebut termasuk perbuatan tabarruj, lantaran wig sekadar menutup kepala saja dan tidak dapat menutup aurat secara sempurna seperti halnya khimar (kerudung).
Dalam kitab Shahih Fikih Sunnah karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim disebutkan, bahwa tabarruj adalah seorang wanita yangg menampakkan perhiasan, kecantikan, dan bagian tubuh yangg semestinya ditutupi, sehingga mengundang syahwat lelaki.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa menggunakan sesuatu yangg tidak ada pada dirinya merupakan salah satu perbuatan yangg menipu orang lain,
“Dari Fathimah dari Asma` (diriwayatkan) dari Nabi saw. – dalam riwayat lain- Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam dari Fathimah dari Asma` bahwa seorang wanita bertanya; Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai madu (istri lain dari suaminya), lantaran itu apakah saya bakal mendapat dosa, jika saya menampak-nampakkan kepuasan dari suamiku dengan suatu perihal yangg tak diberikannya kepadaku? Rasulullah saw bersabda: Seorang yangg menampakkan kepuasan dengan sesuatu yangg tidak diberikan kepadanya adalah seperti halnya seorang yangg memakai busana kepalsuan” [HR. al-Bukhari nomor 4818].
Berdasarkan sabda tersebut, menunjukkan sesuatu yangg sebenarnya tidak ada pada diri seseorang adalah perihal yangg dilarang. Begitu pula dengan menggunakan rambut tiruan (wig) ataupun menyambung rambut, yangg sebenarnya bukan rambut original yangg tumbuh dari dirinya sendiri adalah dilarang.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa berhijab yangg diperintahkan untuk menutup aurat wanita adalah dengan memakai jilbab alias busana yangg menutup seluruh tubuh, yangg salah satunya adalah khimar (kain kerudung) untuk menutup bagian kepala (rambut) hingga ke dada.
Menggunakan wig tentu tidak bisa menutup dengan sempurna, di samping juga dilarang dalam Islam. Dengan demikian menggunakan hijab dengan wig adalah dilarang, baik wig tersebut digunakan sebagai pengganti khimar alias kain kerudung maupun digunakan secara rangkap setelah sebelumnya memakai khimar alias kain kerudung, lantaran termasuk ketidakejujuran yangg dengan kata lain berhijab namun seakan-akan tidak berhijab.
Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
(Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No 14 Tahun 2018