Dalam kehidupan bermasyarakat alias berkebangsaan, tentunya tak dapat terpisahkan dari sastra. Bukti empiriknya, sastra digunakan dalam ritual-ritual tertentu. Lebih tepatnya, sebagai perangkat komunikasi untuk menceritakan sebuah kisah fenomenal (Khaerunnisa, dkk, 2020: 31). Begitupun di era Rasulullah juga hidup para sastrawan yangg terkenal.
Dahulu, sastrawan Arab menggambarkan bakal kefasihan ucapan Rasulullah Saw, di antara mereka berkata:
“Allah Swt. telah meletakkan rasa cinta pada tutur katanya yangg dapat diterima oleh lubuk hati setiap orang. Karena itu, tak salah jika terasa nyaman di hati, dan pembicaraannya tidak perlu diulang-ulang. Tiada satu kalimat pun yangg tergelincir, apalagi kekurangan hujjah dalam menghadapi musuh bicaranya, karena yangg dikemukakan adalah kebenaran semata. Maka dari itu, tiada berkesannya sebuah perkataan melampaui ucapan Rasulullah Saw.” (Kauma, 2000: 145).
Seseorang dengan kompleksitas ilmu, ritual bercerita kisah sebagaimana upaya mengekspresikan sastra, bakal berakibat kepada pujian berarti terhadap objek yangg dikaji. Sehingga, eksistensi sastra memang begitu andil dalam merebut seluruh perkembangan hidup di setiap zaman.
Hasan bin Tsabit (563-674 M) dan Ka’ab bin Zuhair (wafat sekitar 662 M), sastrawan terkenal di era Rasulullah Saw (Amrullah, 2017: 1). Dua figur sastrawan tersebut bakal dibahas dalam tulisan ini, memandang minat mereka terhadap sastra, telah mengaktualisasi dirinya sebagai pembela Rasulullah Saw.
Hasan bin Tsabit
Nama lengkapnya Abu al-Walid Hasan bin Tsabit. Ia dikenal sebagai penyair Rasulullah Saw. yangg berasal dari Madinah, keturunan suku Khazraj. Berawal di jalan Jahiliyah, setelah itu, semasa hidupnya dia gunakan memihak identitas Islam, sebuah aliran yangg dibawa Rasulullah Saw.
Salah satu syair popularnya, adalah mengenai pemberian gelar “Sayyidina” kepada nama Rasulullah Saw., yangg berbunyi:
قِيَامِي لِلعَزِيْزِ عَلَيَّ فَرْضٌ # وَتَرْكُ الْفَرْضِ مَاهُوَ مُسْتَقِيْمُ. عَجِبْتُ لِمَنْ عَقْلٌ وَفَهْمٌ # يَرَى هذَا الْجَمَالَ وَلاَيَقُوْم
“Berdiriku untuk menghormati manusia mulia ini bagiku wajib # sedangkan meninggalkan tanggungjawab jelas bukan sebagai sikap yangg baik. Saya heran kepada orang yangg mempunyai logika sehat dan pemahaman, tetapi pada saat memandang manusia seindah ini (Rasulullah Saw), mereka tidak mau berdiri menghormatinya”
Sejak Hasan membacakan syair di atas, para sahabat selalu menghormati Rasulullah Saw. dan beliau tidak melarang. Oleh lantaran itu, sebagian besar orang Islam ketika membaca shalawat, membubuhkan kata “Sayyidina” di depan Rasulullah Saw (Irfan, 2019: 46).
Semangat Hasan bin Tsabit yangg memperjuangkan Islam dengan syairnya disambut baik sedemikian rupa oleh Rasulullah Saw. Bahkan, diakui bilamana syair-syair Hasan bisa melumpuhkan tindakan radikal kaum Quraish terhadap Islam (Tamami, 2022).
Demikianlah, sastrawan Hasan bin Tsabit yangg terkenal di era Rasulullah Saw. Beliau berjihad dengan menciptakan syair untuk melawan orang-orang kafir. Kiprah intelektual di sini lebih dipahami sebagai upaya implementatif dalam mendeklarasikan nilai intrinsik dari kebenaran.
Ka’ab bin Zuhair
Ka’ab bin Zuhair adalah seorang wartawan yangg menyebarkan buletin tentang kebenaran risalah Rasulullah Saw. Sebelum masuk Islam, di Thaif, dia terkenal bakal keahliannya menyampaikan buletin melalui syair. Bahkan, seringkali menghina Rasulullah Saw. dengan perantara syair (Sulaiman, dkk, 2010: 157).
Setelah memeluk Islam, dengan sepenuh hati, skill menciptakan sastra dikerahkan oleh Ka’ab untuk dakwah. Di antara Qasidah yangg dia lantunkan kala itu, berikut bunyinya:
“Bahagia yangg terang, sekarang kalbuku dalam kerugian. Diperbudak dunia, terbelenggu kerugian tidak tertebuskan. Apalah senang di ujung siang tatkala mereka meninggalkan. Kecuali senandung bola mata bercelak melantunkan nyanyian”
Dikatakan bahwasannya tatkala Ka’ab melantunkan Qasidahnya di hadapan Rasulullah Saw, dia memberikan bajunya kepada beliau. Baju ini kemudian menurun di kalangan para khalifah. Ia menciptakan syair berisi sanjungan kepada Rasulullah Saw. dan terkenal dengan nama Banat Qasidah.
Dengan keislaman Ka’ab bin Zuhair, dapat dikatakan bahwa para penyair yangg menentang dakwah Islam telah berakhir. Sesungguhnya Dhirar bin al-Khathab, Abdullah bin al-Zab’ari, Abu Sufyan bin al-Harits bin Hisyam, dan al-Abbas bin Mardas telah memeluk Islam.
Mereka berbalik arah berasosiasi dengan barisan Islam, dengan kapabilitas dan predikatnya, dia senantiasa tenang dalam keimanan. Sebagian di antaranya tidak cukup memihak Islam dengan syair-syairnya saja, namun ungkapan tersebut diletakkan pada pedang mereka masing-masing (Al-Shallabi, 2017: 539).
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik konklusi bahwa Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Zuhair, merupakan dua figur yangg paling berpengaruh bakal kesusastraan di era Rasulullah Saw. Kajian-kajian tentang Islam telah mereka pahami melalui sastra yangg holistik, apalagi digunakan pula untuk memihak identitasnya.
Editor: Soleh