TAJDID.ID~Medan || Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Alpi Sahari SH MHum menilai, kepemimpinan Polri saat ini berada dalam kondisi bergerak dalam menghadapi era distrupsi digital dengan terminologi masyarakat informasi.
“Karena itu, keberhasilan Kapolri Jenderal Polisi Drs Listyo Sigit Prabowo MSi dalam menghadapi era disrupsi digita sangat layak untuk kita apresiasi,” ujar Alpi, Selasa (2/5/2023).
Alpi menjelaskan, era disrupsi digital ditandai dengan 2 (dua) perihal yakni: Pertama, perkembangan pesat teknologi info dan pemanfaatannya secara masif yangg memberikan kontribusi dan implikasi terhadap stabilitas Kamtibmas dan Kamdagri.
Kedua, kondisi situasi VUCA (Volatility, Uncertainity, Complexity dan Ambiguity). Menurutnya, kepemimpinan transformatif yangg dimplementasikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listiyo Sigit Prabowo merupakan kunci keberhasilan Polri meraih penguatan kepercayaan masyarakat (trust building).
“Untuk itu saya mengucapkan tahniah kepada Kapolri atas keberhasilan dalam menguatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga Polri,” ujar Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UMSU ini.
Lebih lanjut dikatakannya, kepemimpinan transformatif Kapolri teroptimalisasi dalam corak prediktibitas, responsibilitas dan transparansi berkeadilan dalam penanganan beragam kualifikasi delik pidana terutama terhadap delik pidana yangg beririsan dengan stabilitas Kamtibmas dan Kamdagri dengan memanfaatkan teknologi informasi.
“Dapat dicontohkan responsibitas Polri dalam penanganan laporan dari Pemuda Muhammadiyah atas pengancaman terhadap penduduk Muhammadiyah yangg dilakukan oleh peneliti BRIN Andi Pangeran Hasanuddin,” ujar Alpi yangg merupakan saksi mahir di Bareskrim Polri dalam kasus hilangnya nyawa Brigadir Joshua Hutabarat di Duren Tiga Jakarta Selatan.
Menurut Alpi yangg juga pernah jadi saksi mahir di PN Jakarta Selatan yangg dihadirkan oleh JPU atas terdakwa Irjen FS, peneliti BRIN Andi Pangeran Hasanuddin telah ditetapkan tersangka dengan persamgkaan Pasal 28 ayat (2) junto Pasal 45 A ayat (2) dan/atau Pasal 29 junto Pasal 45 B UU ITE. Kedua pasal ini mempunyai kualifikasi delik yangg berbeda, sehingga tidak dapat dimaknai sebagai conxursus realis alias concursus idealis, agar interogator dapat memahami kualifikasi delik dimaksud dalam mentersangkakan.
Di samping itu, lanjut Alpi, mengenai dengan dolus malus dalam pemenuhan unsur objektif onrechtslemen juga kudu menjadi perhatian interogator lantaran frasa rumusan deliknya bukan ditujukan pada opzet als oogmerk dalam kerangka pengumpulan perangkat bukti ialah motivasi seseorang sangat mempengaruhi perbuatannya (affectio tua nomen imponit operi tuo), melainkan motifnya membangkitkan yangg ditandai dengan adanya konten mengajak, mempengaruhi, menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan kebencian dan/atau permusuhan.
“Hal ini ditujukan dalam konteks ‘dapat dipidananya perbuatan’ dan ‘dapat dipidananya orang’ pada konsepsi pertanggungjawaban pidana,” ujar Dr. Alpi yangg pernah diminta untuk memberikan keterangan mahir dalam peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang Jawa Timur. (*)