Bukan tanpa argumen Kasultanan Yogyakarta melarang etnis China mempunyai aset tanah diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selain sudah mempunyai payung norma ialah UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, rupanya ada sejarah panjang nan melatarbelakangi patokan itu. Bagi penduduk DIY nan usianya di atas 50 tahun tentu mengenang kiprah almarhum Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX. Beliau adalah Raja Kasultanan Yogyakarta, Gubernur DIY, mantan Wakil Presiden RI, pejuang, dan pahlawan negara. Beliau juga adalah ayahanda dari Sri Sultan HB X nan saat ini memerintah.
Almarhum Sri Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin nan sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Beliau sering blusukan ke pasar-pasar bukan untuk cari dukungan, tapi mau membantu penduduk miskin. Beliau sudah kaya dan terhormat dari lahir, sehingga tidak butuh pencitraan. Sejarah mencatat, beliau punya peran besar dalam kemerdekaan RI dan upayamempertahankan kemerdekaan. Sampai-sampai beliau dan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Jogjakarta untuk mempertahankan kemerdekaan, serta beliau membangunkan gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai sekarang tetap ada gedungnya, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).
Sejarawan mencatat, beliau beberapa kali ditawari menjadi presiden dan beberapa kaliberkesempatan menjadi presiden, tapi beliau tidak mau. Beliau hanya sekali menjadi wapres (zaman Soeharto) dan itu pun hanya satu periode dan setelah itutidak mau lagi dipilih. Kecintaan penduduk DIY terhadap almarhum sangat tinggi. Wajar ketika beliau wafat tahun 1988, sepanjang jalan dari keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman) dijejali para pelayat. Jumlah pelayat diperkirakan mencapai 500.000 orang.
GuinessBook of International Record mencatat peristiwa itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di bumi nan pernah ada. Koran dan media besar nasionalpun menjadikannya sebagai topik pembahasan utama: perginya pemimpin besar, pembela rakyat nan sejati. nan menarik dari beliau adalah sikapnya terhadap penduduk keturunan China. Beliau orang nan sangat humanis dan tidak membeda-bedakan, namun urusan kebijakan pemerintahan beliau sangat tegas.
Salah satu patokan peninggalan beliau adalah melarang penduduk keturunan China untuk mempunyai tanah di Yogyakarta, dalam artian tanah sebagai kewenangan milik. Warga keturunan hanya boleh punya Hak Pakai alias Hak Guna Bangunan (HGB). Aturan ini sampai sekarang tetap bertindak di DIY, dan ini salah satu keistimewaan DIY.
Aturan ini lahir lantaran ada sejarahnya, ialah pada tahun 1948 alias tahun-tahun saat mempertahankan kemerdekaan RI. Sejarah mencatat bahwa etnis China lebih memilih membantu pasukan Belanda nan mau kembali menjajah Indonesia daripada ikut berjuang berbareng komponen bangsa. Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, ialah di Bulan Desember 1948. Saat itu organisasi China nan ada di Yogyakarta justru berpihak dan memberikan sokongan ke Belanda nan sebelumnya sudah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Sejak itulah Sultan HB IX kemudian mencabut kewenangan kepemilikan tanah terhadap etnis Chinadi Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan sukses dipertahankan dengan keringat dan darah, organisasi China bakal eksodus dari Yogyakarta.
Namun Sultan HB IX tetap berbaikan hati dan menenangkan mereka meskipun nyata-nyata telahberkhianat. “Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu kewenangan Anda, yaituhak untuk mempunyai tanah.”
Itulah kenapa hingga sekarang ini pengusaha China tidak punya kewenangan milik atas tanah diberbagai pusat upaya di Yogyakarta. Mereka hanya bisa punya kewenangan guna alias kewenangan pakai sampai jumlah tahun tertentu. Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat petunjuk kepada bupati dan walikota untuk tidak memberikan surat kewenangan milik tanah kepada penduduk negara non pribumi. Surat ini tetap berlaku.
Surat unstruksi tersebut mengizinkan penduduk keturunan mempunyai tanah dengan status HGB, bukan Sah Hak Milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, lampau dibeli penduduk keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaiantertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.
Kalangan penanammodal dan bos sudah beberapa kali menggugat patokan itu dan mengadukan halitu ke presiden. Dalihnya adalah patokan itu dianggap rasis dan tidak adil. Para penggugat itu biasanya menyuruh dan mendanai LSM. Namun oleh Mahkamah Agung (MA) tetap tidak dikabulkan lantaran perihal itu bagian dari keistimewaan DIY.
Begitulah almarhum Sri Sultan HB IX nan visioner, tahu gimana mencintai dan menjaga negerinya. Beliau tahu gimana melakukan baik kepada sesama dan mengambil pelajaran dari beragam peristiwa alias sejarah. (Red)