Catatan Pengamat Lingkungan di Hari Jadi Kota Medan
Oleh : Zulkarnain Siregar
Kenangan Kota Medan Bagiku Pribadi
Bagiku Medan kota kenangan yangg teramat panjang dan kota kehidupan yangg susah terlupakan. Medan adalah tempat tinggal yangg paling lama dan paling berkesan. Sejak tahun 1961, ada beberapa nama jalan yangg menjadi tempat tinggal (domisili) dan tetap menjadi kenangan bagi kami sekeluarga seperti:
Jl. Jogya (sekarang Diponegoro), Jl. Rivai, Jl. Sei Lepan, Jl. Sibolga, Jl. Pitula, Jl. Malaka, Gang PWS (sekarang sudah jadi Jl. PWS), Jl. Alfalah, Jl. Pasar Belawan, Jl. Sei Serayu, Pasar Melintang, Jl. Beo dan terakhir Jl. Garuda Sei Sikambing B Medan Sunggal. Di jalan-jalan ini kulalui masa kanak-kanak dengan sering bersepeda sembari menyeser cari ikan laga. Kota ini tetap nyaman bersepeda. lampau lintas tak pernah macat.
Masa Sekolah
Masa-masa sekolah sebagian waktuku di Medan, selebihnya di luar kota Medan. Zamannya Taman Kanak-kanak saya ingat di TK St. Antonius Hayam Wuruk Medan. Masih ramai transportasi seperti bemo, becak mesin, becak dayung. Bagus-bagus lagi. Ingat kali setiap hari dijemput becak mesin pulang pergi dari Jl. Sei Lepan Medan Baru. Kemudian melanjut SD Negeri di Belawan dan menamatkannya hingga SMA di Langkat Hulu dan Binjai. Setelah tamat SMA melanjut kuliah kembali ke Medan (IKIP Negeri Medan di Jl. Merbau, USU Kampus Padang Bulan dan UMA Kampus Jl. Setia Budi Medan).
Prihal Buku dan Hobby Baca
Salah satu kesukaanku adalah memilih-milah kitab ketika mau membelinya baik langsung
atau memesannya melalui jejaring sosial. Sejak mahasiswa saya memang lebih banyak mengoleksi buku-buku makulat dan psikologi, walaupun saya suka sastra dan budaya. Bahasa menjadi dasar saya mencintainya. sekarang buku-buku itu nyaris 41 tahun telah kupelihara, kurawat, meski sekali waktu sempat puluhan kitab dimakan rayap. Sewaktu tetap mengontrak rumah lebih 21 tahun adalah kekayaan yangg paling banyak ketika berulang kali pindah rumah. Kadang-kadang calon tetangga baruku heran dan bertanya-tanya, “Buat apa kitab begitu banyak, sementara bangku tamu saja tidak ada?”
Aku hanya usil menjawab, “buat anak-anakku yangg dua orang itu!” Lalu mereka tersenyum-senyum saja, meski senyumnya juga punya makna buat saya pribadi. Pernah pindah ke rumah mertua, ruang makan kujadikan perpustakaanku. Kalau datang family dari istri yangg dilihat pertama rak kitab gantung yangg penuh dengan buku. Kadang-kadang saya tahu mereka mau tanya untuk apa kitab itu? banyak kali? Diam-diam saya suka memperhatikan arah mata mereka dan membaca apa yangg ada dalam pikirannya. Nasib baik, untunglah mertua mau mengerti dan baik hati. Padahal tembok ruang makan dan tempat-tempat sebelumnya di rumah kontrakan selalu rusak oleh paku beton yangg besar-besar buat menggantung rak yangg berukuran rata-rata 3×2 m. Alhamdulillah sampai hari ini buku-buku tetap menjadi pilihan antusiasme hidup, pengembaraan selain menjaga daya kritis.
Masa Bekerja
Pernah menjadi pembimbing merangkap kepala sekolah di SD Ade Irma Suryani Nasution Jl Air Bersih Gg. Satu Medan. Terbayang 42 tahun yangg lampau mengabdi tanpa penghasilan sebagai pembimbing di sebuah sekolah dasar swasta yangg dikelola oleh seorang pengajar senior IKIP Medan.
Hanya ada dua kelas. Kelas satu dan kelas dua. Kelas satu 15 orang. Kelas dua 10 orang. Namun lantaran semangat mau menjadi pembimbing berdomisili di hati, meski tak satu pun dari family berprofesi itu, jalan ke sana rupanya terbuka.
Pilihan hidup sebagai pembimbing terbukti bisa mengantarkan diri lebih dari separuh usia di kandung badan untuk mengabdi jadi pilihan hati dengan segala konsekuensi. Kemudian menjadi Tentor BT/BS Mitra Jl. Gedung Arca Medan Teladan, Guru SMA Bunga Bangsa 2 Jl. Brigjen Katamso No.50 Medan Maimoon, Tentor BT/BS Bimafika Jl. Iskandar Muda 57A Medan, Dosen (Luar Biasa) di Fakultas Sastra USU Jl. Universitas 19 Padang Bulan Medan, Kepala Sekolah SMP Gajah Mada Jl. Bunga Kenanga 2 Padang Bulan, Guru SMA Yapena 45 Kp. Baru Medan, Dosen di Fakultas Teknik UISU Jl. Si Singamangaraja Medan Teladan, Dosen di Institut Ilmu Agama Buddha Smaratungga di Jl. Mesjid Medan, Dosen IAD di Institut Bisnis Manajemen Mahathera, Jl. S. Parman Medan dan terakhir berasosiasi dengan SLTP dan SMU Sutomo 2 Medan Jl. Deli Indah Medan.
Pengalaman itu Guru
Pengalaman yangg menasihati jalan hidupku sepanjang waktu agar saya bisa mengaturnya tanpa ragu. Setamat SMA. saya mulai mengajar, sembari kuliah di IKIP. Ya lulusnya di sana. Mendinglah ada kesempatan belajar teknik dan seni mengajar di kampus yang masa itu di Jalan Merbau Medan. Mengajar sembari kuliah. agenda mengajar terpaksa disesuaikan dengan kuliah. tidak sebaliknya. Setahun kemudian saya mengikuti kembali test masuk USU dengan mengambil bidang yangg sama di IKIP. Hasilnya positif. Aku lulus. Rasa ceria rupanya memupus ketika menghadapi pengaturan agenda kuliah di dua kampus negeri di kotaku. Aku kudu selesaikan di IKIP. Aku juga kudu bisa datang kuliah di USU. Memang tidak mulus. ipku di kampus baru itu ambruk di semester pertama. Benturan waktu ketika kuliah pagi banyak mata kuliah yangg terpaksa mangkir karena mau menyelesaikan tugas di kampus pertama. Alhamdulillah semua akhirnya melangkah lancar setelah bermusyawarah dan bersiasat mengambil mata kuliah yangg tidak berbenturan waktunya. Sore hari tetap mengajar mulai dari kelas SMP dan SMA.
Begitulah waktu berjalan, tugas-tugas akhir kuliah di IKIP selesai. Aku berkonsentrasi di Fakultas Sastera USU. Puji Tuhan setiap semester indeks prestasi mulai meningkat. Mengajar terus berjalan. Menulis di surat kabar terus berjalan sembari aktif di beberapa organisasi intra dan ekstra kampus. Tak terasa tahun keempat sudah nyaris selesai. Sayang saya kudu diuji dengan meninggalnya ibu yangg membesarkanku. Aku nyaris larut dalam duka itu. Untunglah ketua bidang mengingatkanku untuk menyelesaikan bab akhir skripsi. tepat 4 tahun tiga bulan saya diwisuda sebagai wisudawan terbaik priode 1987 dari USU.
Dua puluh dua tahun setelah itu, setelah mengembara jadi pengajar di almamater dan banyak perguruan tinggi swasta di Medan kemauan kuliah menggebu-gebu. tepatnya tahun 2009 saya memohon izin pada pemimpin di tempat bekerja untuk kuliah kembali sesuai dengan konsentrasiku. Aku memilih bidang yangg relevan dengan pekerjaanku. Tak sampai 20 bulan tuntas dengan capaian yangg memuaskan. Ternyata bekerja sembari sekolah alias sekolah sembari bekerja memberi kesan dan pengalaman yangg luar biasa tentu lantaran menariknya bumi kerja pulalah yangg banyak berkontribusi dengan padat info sebagai info empiris yangg mengantarkan saya kembali menjadi wisudawan terbaik.
Kota Tempat Berprosesnya Menulis dan Berdiskusi dengan Berbagai Teman
Di kota ini saya juga memilih menulis tetap di media terbitan Medan, Prosesnya mulai dari Majalah Mahasiswa di Kampus, seperti Katarsis dan Wacana di Fak. Sastra USU, Harian Waspada, Harian Mimbar Umum dan Harian Analisa. Tentu terutama di ruang budaya dan sesekali opini. Semua itu berjalan sejak tahun delapan puluhan. Hatiku unik buat Medan selalu.
Semasa giat menulis di koran awal tahun 80-an sampai akhir 90-an awak tetap antusias kali membaca surat kabar dan berlangganan sambil melihat tulisan-tulisan sendiri terbit. Rasa haru, ceria terlebih-lebih rasa bangga datang begitu ketika memandang ada tulisan sendiri. Membacanya sembari mengoreksi bahasa suntingan
redaktur koran tersebut. Kalau ada yangg salah cetak huruf, kata, kalimat yangg kurang komplit dan nama
penulis ya minta maklum saja. Perbaiki sendiri!
Semangat menulis secara kritis keadaan-keadaan yangg berkembang masa itu menjadi begitu tertarik dan dominan menginspirasi pikiran dan perkembangan logika kritis. Tentu proses ini disebabkan lantaran suka dan giat membaca. Kalau sudah banyak membaca bingung sendiri, lampau cari sasaran siapa yangg bisa diajak diskusi. Kalau ada undangan aktivitas obrolan dimana-mana diupayakan datang dan aktif. Kalau belum puas juga membentuk golongan obrolan untuk mengadakan obrolan budaya, politik dan lingkungan. Kadang-kadang aktivitas obrolan dan membaca ini yangg banyak menjadi sumber penulisan, selain tema-tema yang menarik untuk dikembangkan dari ruang kuliah.
Setiap hari Rabu dan Minggu sudah menjadi kebiasaan setelah subuh ke luar mencari loper surat kabar alias agen. nan dibuka pertama kali adalah Ruang Budaya. nan dicari pertama kali di rubrik itu adalah tulisan sendiri. Kalau untuk Ruang Opini kadang-kadang tak sempat diketahui ada dan sudah terbit. Sebab, maklum saja sempat ada masa belum berlangganan koran. Tentang berita terbitnya di Ruang Opini itu selalu datang dari kawan-kawan pembaca.
Tapi, sayang terbitnya telah seminggu yangg lalu. Mau dicari korannya di pemasok rupanya sudah habis. Tentu hasilnya kehilangan dokumentasi. Maka, dicari solusinya dengan berlangganan. Sejak itu pengarsipan tulisan-tulisan yangg terbit di surat kabar mana pun dapat dikerjakan, walaupun ketertinggalan itu sudah berjalan lebih sepuluh tahun.
Tapi kini, ada yangg awak rasakan perubahan itu terutama membaca koran, apalagi menulis (apakah itu esai, opini dan sesekali puisi) tak lagi tertarik. Padahal, awak tahu itulah cara-cara (menurut pandangan tertentu) mempublikasi pikiran-pikiran dan karya-karya. Perubahan ini sebenarnya sudah mulai muncul sejak akhir reformasi, alias persisnya awal tahun 2000-an. Walau aktifitas membaca tetap ada. Aktifitas obrolan ada, tentu memilih milah tema yangg menarik. Ke perpustakaan tetap sering. Belanja kitab (tertentu) tetap terus. Kadang-kadang saya bertanya, “Mengapa demikian?”
Selanjutnya juga prihal tempat berkecimpung dengan kawan yangg berbeda latar belakang agama, budaya dan status sosial dan ikut merintis berdirinya wadah guyub berbareng ini, seperti Kelompok Studi Padang Bulan (belakangan berubah nama jadi Komunitas Sastra Padang Bulan), Komunitas Taman, Komunitas Beranda,
dan Budaya Hijau Indonesia. Tetap untuk Medan.
Sedikit Tentang Komunitas Taman
Persentuhan dengan banyak orang yangg dengan latar belakang budaya, agama, status sosial dan pekerjaan yangg berbeda rupanya memberi kekayaan jiwa tersendiri. Dengan mengenal dan memahaminya melalui “titik temu” tanpa menafikan “titik tengkar” adalah sebuah dinamika pergaulan yangg nyaris tak membawa diri ke dalam hubungan yangg antisosial.
Sampai hari ini, saya tetap ingat setidaknya inilah pendapat awal dari Komunitas Taman yang pernah ada di kota Medan. Dengan langkah mengembangkan tikar di taman-taman kota pada Sabtu petang dalam dwibulanan kawan-kawan datang berkumpul. Para inisiator partisipan duduk bersila di taman kota. Mulai dari mahasiswa hingga pembimbing besar. Mulai dari juruwarta hingga penulis bebas. Mulai dari budayawan, agamawan dan birokrat datang sebagai penduduk kota.
Sempat nyaris dua tahun mengkhususkan diri membincangkan tema yangg konsentrasi pada Kekerasan dilihat dari beragam dimensi kehidupan dalam konteks kota. Kadang nyaris bergesekan juga dengan tema konflik-konflik di ruang publik antara kepentingan pribadi/kelompok berhadapan dengan kepentingan umum (publik). nan kesemuanya itu dibincangkan dalam suasana santuy dan nyaris melahir banyak anekdot.
Selanjutnya, organisasi taman mencoba menurunkannya menjadi aksi-aksi budaya dan lingkungan. Melepas burung merpati di taman kota dan menanam pohon. Tentu ini aktivitas positif buat menumbuhkan semangat keberanekaan penduduk kota, Tanpa kepentingan individu, golongan dan identitas apapun. Kecuali semangat kebersamaan yangg tumbuh dari masing-masing yangg hadir.
Persaudaraan dan kebersamaan. seperti sebuah taman dengan beraneka tanaman. Begitu juga warni-warni puspa dan aroma. Sayang..sepertinya dia lenyap tanpa bayang-bayang. Ia pergi tak pernah pulang untuk sekadar saling bersulang. Harapannya mini tapi tetap ada dan berulang. Semoga tak sampailah tergerus oleh arus deras politik identitas.
Kapan ya bisa kita ulang?
SELAMAT HUT KOTA MEDAN KE-434, 1 JULI 2024