MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Perintah berpuasa Ramadan disampaikan Allah Swt melalui Surat Al-Baqarah ayat 183. Sedangkan ketentuan waktu berpuasa, disampaikan pada Surat Al-Baqarah ayat 185 nan artinya,
“(Beberapa hari nan ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan nan di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara nan kewenangan dan nan bathil). Karena itu, barangsiapa di antara Anda datang (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit alias dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari nan ditinggalkannya itu, pada hari-hari nan lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah Anda mencukupkan bilangannya dan hendaklah Anda mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya nan diberikan kepadamu, agar Anda bersyukur.”
Dalam Tafsir Al-Azhar Jilid 1, ustadz Muhammadiyah, Buya Hamka menjelaskan bahwa penentuan perintah berpuasa Ramadan tidaklah perlu diperdebatkan mana nan benar, apakah nan menggunakan metode penentuan berasas rukyat (melihat), alias penentuan berasas hisab (menghitung).
Buya Hamka lampau menjelaskan jika pada ayat di atas, penentuan Ramadan menggunakan kata syahr, dan bukan qamar atau hilal.
Syahr sendiri artinya adalah bulan sebagai penanda waktu (month). Sedangkan hilal atau qamar artinya adalah bulan sebagai barang langit (moon).
“Dengan kata demikian sama tercukuplah di antara orang nan berpuasa lantaran mempercayai ru’yah hilal, ialah pergi memandang bulan, ataupun menghitung masuknya bulan Ramadan dengan hisab,” tulis Buya Hamka.
“Sehingga tidaklah mungkin semua orang pergi lebih dulu memandang hilal, baru dia puasa. Dan tidak semua orang mesti pandai berhisab lebih dulu baru dia puasa. Tetapi asal dia sudah menyaksikan alias mengerti bulan Ramadan telah masuk, maka puasalah dia!”
Penggunaan kata ‘Syahr’ sebagai penentu waktu berpuasa itu menurut Buya Hamka juga menandakan jika Alquran adalah wahyu Allah Swt nan selaras dengan pengetahuan pengetahuan dan teknologi. Dalam menentukan ‘syahr’ misalnya, Islam tidak meletakkan metode rukyat sebagai pedoman utama dibanding metode hisab.
Dalam perihal ini, dia mengambil kasus gimana orang Islam nan tinggal di Kutub Utara alias Kutub Selatan menentukan waktu. Meski malam alias siang di wilayah Kutub bisa berjalan selama enam bulan terus menerus, nan dengan itu rukyat menjadi mustahil, manusia di sana tetap bisa menentukan hitungan bulan alias hari melalui kalkulasi kalender.
“Di sana orang tetap memakai almanak alias almanak, karena itu orang Islam nan berdiam di sana, asal beriman, tetap dapat menyaksikan bahwa bulan Ramadan telah masuk. Dia wajib puasa. Bagaimana puasanya? Berijtihadlah dengan baik. Sebab Islam bukan kepercayaan beku!”
“Seorang kawan dari Kedutaan Indonesia nan pernah tinggal di wilayah Scandinavia menceritakan bahwa di waktu salat lima waktu, dia tetap salat. Di bulan Ramadan dia tetap puasa, meskipun mentari tidak pernah terlihat sekian bulan lamanya. “Kenapa bisa?” tanya kita. Dia menjawab: “Arloji kami melangkah seperti biasa. Saya salat memandang bilangan jam dan saya puasa memandang info hari di almanak!” Sebab dia beriman,” Tulis Buya Hamka. (afn)
Hits: 1