Bolehkah Mengumbar Aib Orang nan Meninggal?
Membicarakan kebaikan orang lain merupakan buahpikiran dan inspirasi agar kita ingat kepada perihal baik. Minimal kita dapat meyakini bahwa kebaikan itu bakal berakibat positif untuk diri sendiri dan orang sekitar kita. Terlebih syukur jika kita dapat meniru dan mengamalkannya. Sebaliknya, membicarakan kejelekan justru dapat mengotori mulut kita sendiri. Bahkan kepada orang nan telah meninggal. Sebaliknya, mereka berkuasa didoakan, dibahagiakan keluarganya, disebut-sebut kebaikannya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Artinya: “Dan orang-orang nan menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan nan mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul ketidakejujuran dan dosa nan nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]:58)
Jika ada orang nan mencibir orang mukmin baik laki-laki dan wanita dengan ucapan maupun perbuatan, nan dicibir adalah kemuliaan, harta, alias lainnya. Padahal perihal itu tidak sesuai dengan kebenaran nan terjadi pada orang nan dicibir, maka itu adalah ketidakejujuran nan keji. Termasuk juga menyakiti adalah dengan memfitnah, mengambil hak, membunuh, berghibah, mencemarkan nama baik dan sebagainya. Pendapat ini dikemukakan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily dalam tafsir Al-Munir.
***
Siti Aisyah istri Nabi Saw meriwayatkan sabda bahwa jika kawan kita meninggal dunia, padahal sewaktu dia tetap hidup sering berinteraksi dengan kita, apalagi saat dia meninggal kita ikut menguburkannya, maka kita dilarang keras membicarakan aibnya, lantaran perihal itu telah terjadi dan sudah berlalu.
عن ابن عمر رضي اللَّه عنهما: قال رسول اللَّه -صلى اللَّه عليه وسلم: اذكروا محاسن موتاكم، وكفوا عن مساويهم
Artinya: “Ceritakanlah kebaikan-kebaikan orang nan sudah meninggal dan hindari menyebut keburukan-keburukan mereka.”
Kenapa kudu menyebut kebaikannya saja? Karena jika mengumbar kejelekan orang nan sudah meninggal bakal menyakiti family dan kerabat dekatnya, pun celaan alias hinaan tersebut tidak bakal sampai kepada si mayit. Justru itu bakal menjadi bumerang kepada orang nan mencela, dianggap asing oleh orang-orang di sekitarnya. Apapun motif mencela orang mati, entah lantaran sombong ataupun dendam, sebaiknya disimpan rapat-rapat makian itu dan jangan sampai diungkapkan.
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad dan Nasa’i memakai redaksi, “لا تسبوا موتانا؛ فتوذوا أحياءنا”, dan redaksi dari Siti Aisyah memakai “إذا مات صاحبكم فدعوه ولا تقعوا فيه”.
Legitimasi dan Restriksi Mencaci Orang Kafir
Suatu waktu para sahabat memandang jenazah nan diangkut, kemudian mereka menyebut keburukan jenazah tersebut saat tetap hidup. Melihat perihal itu, nabi saw tidak menanggapi. Dalam syarah sunan Abu Dawud dijelaskan oleh Ibnu Ruslan menyitir jawaban Imam Nawawi bahwa larangan menghina orang meninggal itu ditujukan kepada selain orang-orang munafik, kafir, sering melakukan dosa mini dan bid’ah. Khusus orang-orang tersebut tidak haram disebut keburukan-keburukannya.
Kebolehan menyebut keburukan orang kafir nan telah meninggal itu dalam rangka peringatan kepada kita bahwa menyekutukan Allah adalah dosa besar. Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Allah dan Rasul-Nya mengutuk Abu Jahal dan Abu Lahab serta para pengikutnya. Secara umum memang boleh mengutuk orang kafir nan tetap hidup lantaran kekufuranny. Namun kita tetap dilarang menyebut keburukan satu orang kafir tertentu, lantaran tetap ada kemungkinan dia bertaubat dan masuk Islam.
Umar bin Khattab ketika khutbah di atas unta di Mina berkata, “Janganlah kalian mencela orang nan telah meninggal, sesungguhnya perihal itu sama saja kalian mencelanya saat dia hidup.” Hal senada juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, “Barangsiapa menghina orang mukmin nan wafat, sama halnya dia menghinanya ketika tetap hidup.” Sa’id bin Zaid meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “Janganlah kalian mencaci sesama Muslim, lantaran kelak orang kafir bakal memaki.” (Ahmad bin Abdurrahman, Al-Fath Ar-Rabbani/8/50).
Menjadi seorang Muslim tidak serta merta bebas dari larangan melakukan dosa, justru Muslim nan baik sesuai sabda Nabi Saw adalah orang nan baik lisan dan perbuatannya. Kita diperingatkan agar tidak melakukan perihal nan tidak berfaedah, termasuk mencela nan telah dikubur (sabbul amwat).
Habib Husein Ja’far Al-Hadar, seorang sayid milenial di Tiktok, pernah berbicara dalam sebuah podcast di aplikasi Noice, “Cukuplah kematian itu menjadi nasihat buat kita. Sangat rugi bagi orang nan tidak mau menjadikan kematian orang lain sebagai nasihat bagi dirinya.”
Editor: Soleh