Bagaimana rasanya menjadi menantu seorang Kiai NU? Apa saya ikut kunut, tahlilan, dan kunjungan makam? Apa yangg saya lakukan ketika mudik di rumah family Istri jika hasil sidang Isbat memutuskan puasa dan lebaran berbeda dengan hasil hisab Muhammadiyah? Banyak orang mungkin mengira saya sebagai menantu dari seorang Kiai NU bakal melewati situasi-situasi semacam ini penuh dilema.
Aktivis Muhammadiyah
Saya lahir dari family Muhammadiyah tulen. Bapak saya pernah menjadi Ketua Wilayah Muhammadiyah (PWM). Ibu saya pernah menjadi Ketua Wilayah Aisyiyah (PWA). Kakak saya dan saya sendiri paripurna sebagai aktifis IPM hingga tingkat pusat. Sejak mini saya sudah berguru di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mulai dari TK ABA sampai SMA Muhammadiyah. La ghoira fi ananiy Muhammadiyin.
Tapi, sebagai seorang Muhammadiyah, saya juga tumbuh besar dalam situasi yangg sudah majemuk di Kota Manado, Sulawesi Utara. Di sana, populasi muslim bukan mayoritas. Kemudian terbagi lagi ke dalam hubungan organisasi keislaman yangg beragam, mulai dari salafiyah (NU, baik pesantren alias kultural), Muhammadiyah, al-Khairat, dan lain sebagainya. Sebagian besar muslim di Manado memilih untuk cair saja dalam pandangan keagamaan. Maka, takmir masjid yangg sebetulnya memegang “kuasa” lebih kuat dalam menentukan corak keislaman jamaah di sekitarnya.
Masjid di kampung saya di Kota Manado sudah jelas ikut kordinasi instansi Kementerian Agama Wilayah. Jadi, jika ada perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal misalnya, masjid sudah pasti ikut penetapan pemerintah. Hingga kira-kira saya SMP, jumlah “orang Muhammadiyah” di kampung kami sangat terbatas. Ada seorang sesepuh kampung pensiunan Telkom yangg meski bukan Muhammadiyah, memilih ikut salat sesuai kalkulasi hisab Muhammadiyah. Sesepuh ini sudah seperti family sendiri lantaran dia berasal dari Maluku Utara, se-kampung dengan bapak saya.
Untuk salat Idul Fitri yangg beda dengan penetapan jenis rukyat 3 derajat, saya dan family pergi ke kampung sebelah yangg memang “kampung Muhammadiyah” di Ternate Tanjung alias ke Masjid Muhammadiyah yangg ada di Sumompo. Bapak saya memang tidak tertarik untuk me-Muhammadiyah-kan masjid di kampung kami. Bapak memilih biar masyarakat tumbuh secara berdikari saja dalam memilih preferensi keagamaannya. Barangkali, bagi bapak saya, orang-orang pada salat saja sudah merupakan rahmat. Muhammadiyah alias bukan, itu kembali ke spirit keagamaan saja. Walaupun sekarang, bisa dibilang, jumlah orang Muhammadiyah di tempat kami kian dominan.
Menjadi Menantu Kiai NU
Keputusan untuk meminang anak seorang Kiai NU di Sukabumi bukan perihal yangg susah dan problematis. Saya tidak berpikir bahwa saya bakal menjalani hidup dengan penuh ketegangan, sebagaimana mungkin dibayangkan banyak orang. Ketika saya mengungkapkan niat hendak meminang anak seorang Kiai NU kepada Ibu dan Bapak, mereka berdua hanya bertanya apa saya sudah percaya bakal berfamili dan sudah seberapa jauh saya mengenal latar belakang, watak, karakter calon istri dan keluarganya. Tidak ada sanggahan mengenai latar belakang ke-NU-an family calon istri.
Ketika sudah menikah, saya juga dapat cerita dari istri. Dia bilang, Bapaknya juga tidak mempersoalkan latar belakang saya sebagai orang Muhammadiyah. Malah, ketika saya silaturahmi pertama kali untuk menyatakan niat hendak meminang anaknya, Bapak Mertua saya langsung mengatakan bahwa langsung menikah saja. Untuk aktivitas ramah-tamah dengan masyarakat seperti resepsi bisa menyusul saja. Mungkin lantaran tetap semangat anak muda, saya tidak merasa gentar. Tapi, saya segera ingat, bahwa momen se-saktral itu, mestilah orangtua dan family besar kami perlu datang ikut mensyukuri secara langsung di Sukabumi.
Salat subuh pun tiba. Setelah rukuk di rakaat kedua, di kalangan salafiyah ada yangg namanya kunut subuh, ialah bermohon sesudah I’tidal dan sebelum sujud. Nah, bagi orang Muhammadiyah kunut yangg secara unik dilakukan pada saat salat subuh berdasarkan pada hadits yangg lemah (dha’if). Yaitu hadits dari Imam Ahmad yangg mengatakan Nabi Muhammad melakukan kunut, dan hadits dari Imam Ahmad juga yangg mengatakan Nabi melakukan kunut setelah rukuk. Menurut Muhammadiyah, Nabi hanya selama satu bulan saja mempraktikkan kunut setelah rukuk, dan itu pun adalah kunut nazilah, yangg dilakukan ketika ditimpa musibah. Itu pun tidak hanya dilakukan pada saat subuh saja.
Secara tarjih, saya tentu berpegang pada pendapat bahwa kunut subuh tidak perlu diamalkan secara khusus. Tapi, lantaran yangg memimpin salat adalah Bapak Mertua saya, sebagai walidain saja, maka saya ikut melakukan kunut. Keputusan semacam ini tentu tidak mungkin saya lakukan jika saya mengandalkan perspektif tarjih saja. Maka, ada perspektif antropologis, sosiologis, dan psikologis kenapa saya melakukannya. Saya menganggap dengan pengecualian meng-amal-kan kunut subuh pada saat Bapak Mertua menjadi pemimpin salat subuh, saya berupaya memahami konteks kehidupan berakidah masyarakat di sini.
Beda Lebaran?
Alasan yangg serupa pun saya pegang ketika hasil rukyat pemerintah mengenai 1 Syawal berbeda dengan hasil hisab Muhammadiyah. Ini terjadi pada Idul Fitri 1444 H. Pemerintah menetapkan tanggal 1 Syawal jatuh pada tanggal 22 April 2023, sedangkan hasil hisab Muhammadiyah yangg sudah diketahui sejak jauh-jauh hari jatuh pada tanggal 21 April 2023. Karena saya, istri dan anak sedang mudik ke Sukabumi, maka sudah pasti saya ikut penyelenggaraan salat Idul Fitri di sini yangg berpegang pada jenis rukyat.
Sekali lagi, jika berpegang pada tarjih, saya tidak mungkin ikut jenis rukyat. Karena bagi saya argumentasi hisab hakiki wujudul hilal lebih masuk akal. Meski seorang master astronomi berulang kali menyerang secara tendensius konsep hakiki wujudul bulansabit Muhammadiyah dan membenturkannya dengan imkanur rukyat 3 derajat. Bagi saya, dalam perspektif makulat sains, argumen peneliti itu terlalu berpegang pada prinsip konsesional dalam sains. Suatu pandangan yangg lapuk dan mencerminkan pseudo-empirism.
Namun, lantaran saya sedang dalam konteks mudik di kampung Istri, dan juga sangat tidak mungkin mencari masjid Muhammadiyah, maka ikut salat Idul Fitri pada tanggal 22 April. Saya punya banyak argumen untuk perihal ini.
Pertama, dalam ibadah, kita tidak dianjurkan untuk mempersulit diri sendiri. Beda cerita jika ada pengganti yangg memungkinkan dan dapat diupayakan. Misalnya, saya tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan masjid yangg menyelenggarakan salat Idul Fitri tanggal 21.
Kedua, yangg ditetapkan sama-sama tanggal 1 Syawal. nan beda adalah kapan tanggal 1 Syawal itu dalam almanak Masehi. Dan ini sangat mengenai dengan ijtihad masing-masing metode, baik hisab maupun rukyat. Masing-masing berpijak pada landasan keagamaan. Ada hadits dan ada penguatan dalam kitab suci al-Qur’an. Ada yangg berpegang pada tradisi dan ada yangg pada re-kontekstualisasi.
Ketiga, Idul Fitri dalam beberapa konteks sudah bukan merupakan aktivitas keagamaan. Tapi sudah melekat dan menjadi “kalender” sosial untuk aktivitas kebudayaan, tradisi, dan perekonomian. Oleh lantaran itu, melebur adalah pilihan yangg dapat dimaklumi dalam kondisi saya yangg jelas sendirian. Istri saya pun melakukan perihal yangg sama jika kami sedang tidak mudik dan memilih lebaran di Yogyakarta. Istri saya ikut salat Idul Fitri dan jumlah salat Rakaat Tarawih sebagaimana masjid Muhammadiyah melaksanakan.
Takzim alias Konvergensi?
Bagi orang-orang dari generasi saya, hidup dalam kemajemukan bukan lagi terjadi di luar diri dan jauh. Melainkan melekat dan dekat. Hubungan saya dengan Bapak Mertua yang NU tidak sekadar takzim dari seorang anak kepada orangtua. Tapi sudah merupakan perjumpaan yangg terjadi dalam saling-silang budaya dan sosial yangg sudah tidak terhindarkan. Saya kira, apa yangg saya alami sangat-lah lazim di masa sekarang. Dan saya kira, riak perdebatan dari akun-akun tertentu yangg secara tendensius menyerang penetapan 1 Syawal Muhammadiyah di Twitter hanya mewakili sentimen masa lampau dan polarisasi politik semata. nan jika dibiarkan alias diawetkan bakal jadi masalah yangg tak kelar-kelar.
Bagi generasi sekarang, selain mendorong agar kepercayaan terus menjadi inspirasi untuk kemajuan kehidupan, adalah juga menginspirasi pemulihan kehidupan bermasyarakat. Keputusan-keputusan saya sebagai seorang Muhammadiyah dan menantu seorang Kiai NU berpijak dari kesadaran semacam ini. Dan saya kudu melakukannya sebagai seorang Muhammadiyin.
Editor: Soleh