Anomali Gerakan IMM Sulsel: Aktivis Atau Pejabat? - MuhammadiyahNews.com

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Oleh: IMMawan Agus Maulana*

KHITTAH.CO, – Gerakan mahasiswa sering kali menjadi symbol perjuangan dan angan bagi perubahan sosial yangg lebih baik. Namun, belakangan ini, kita menyaksikan kejadian yangg memprihatinkan di tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Selatan, di mana konsentrasi pergerakan lebih banyak berputar pada politik internal organisasi daripada membahas isu-isu sosial yangg lebih luas.

IMM, yangg dulu dikenal sebagai kekuatan moral dalam mengkritik ketidakadilan, sekarang lebih banyak terperangkap dalam perebutan kekuasaan di dalam tubuh organisasi. Bukan lagi berbincang tentang perubahan sosial, keadilan, alias nasib rakyat banyak, melainkan tentang siapa yangg bakal naik ke posisi strategis berikutnya.

Fenomena ini mengundang pertanyaan besar. Apakah IMM tetap mempunyai peran sebagai pemasok perubahan, ataukah mereka telah bergeser menjadi arena politik bagi perseorangan yangg lebih tertarik pada kedudukan daripada perjuangan sosial?

Dalam karyanya yangg terkemuka, Nurcholish Madjid berpandangan bahwa kader itu merupakan pengemban perubahan yangg berfaedah untuk memurnikan ideologi, menggugat ketidakadilan, dan menjadi bunyi rakyat. IMM, yangg semestinya menjadi jembatan antara pendidikan dan pergerakan sosial, sekarang justru lebih tertarik pada stabilitas kekuasaan dalam organisasi daripada berfokus pada realitas ketidakadilan yangg menggerogoti masyarakat.

Mengabaikan Esensi Perjuanga nuntuk Mengutamakan Politik Internal

Seharusnya, IMM menjadi tempat bagi pemikiran-pemikiran kritis yangg menantang status quo dan berfokus pada perbaikan masyarakat, terutama dalam menghadapi ketidakadilan yangg ada. Namun, kenyataannya banyak personil IMM lebih sibuk dengan “perang politik” internal yangg mengarah pada perebutan posisi ketua dan pengaruh dalam struktur organisasi.

Isu-isu sosial yangg semestinya mendapatkan perhatian utama, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kebijakan pemerintah yangg tidak pro-rakyat, seakan menjadi subordinat dalam agenda pergerakan mereka. Dalam hali ni, IMM justru terjebak dalam siklus politik yangg sempit, yangg hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu di dalam organisasi, alih-alih bergerak menuju perubahan yangg lebih besar. Kuntowijoyo mengingatkan kita bahwa pergerakan sosial haruslah berdasarkan pada nilai-nilai humanisme yangg memihak mereka yangg tertindas.

Jika IMM mengabaikan prinsip-prinsip dasar ini dan terjebak dalam politik organisasi yangg dangkal, maka mereka bukan lagi menjadi perangkat perubahan yangg memerdekakan, melainkan hanya menjadi struktur yangg memperpanjang status quo. Apakah IMM rela menjadi organisasi yangg hanya sibuk dengan politik kekuasaan internal tanpa memperhatikan masalah-masalah yangg nyata di luar sana?

Ketidakberanian Mengkritik Kekuasaan, Implikasi bagi Peran IMM

Dari perspektif peran kritis mahasiswa, IMM semestinya tampil sebagai garda terdepan yangg mengkritik kebijakan pemerintah yangg tidak berpihak pada rakyat dan berani melawan ketidakadilan struktural. Tetapi, saat ini, IMM sering kali memilih untuk menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak berkuasa dan tidak berani secara terbuka mengkritik kebijakan yangg jelas merugikan masyarakat.

Kondisi ini sangat bertentangan dengan peran mahasiswa sebagai pemasok perubahan yangg kudu menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan sekadar penjaga hubungan dengan pihak-pihak berkuasa. Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam tulisan-tulisannya yangg kritis mengajarkan kita pentingnya keberanian moral dan peran kritis dalam pendidikan.

Seandainya Buya Syafi’i tetap hidup, beliau pasti bakal menilai bahwa IMM telah mengabaikan tanggung jawab moral mereka sebagai pemasok perubahan. Ketika IMM lebih banyak terjebak dalam politik internal yangg pragmatis.

Mereka tidak hanya mengabaikan kritik terhadap pemerintah yangg semestinya menjadi tugas mereka, tetapi juga mengecewakan angan rakyat yangg mengandalkan bunyi mahasiswa untuk menuntut keadilan. IMM semestinya menjadi garda terdepan dalam perjuangan melawan ketidakadilan, bukan sekadar partai politik mini di dalam kampus.

Penyalahgunaan Pendidikan dan Kekuasaan dalam Organisasi

Salah satu dasar an kenapa IMM terjebak dalam politik internal adalah Karen apendidikan yangg mereka terima tidak lagi difokuskan pada pengembangan karakter moral dan sosial yangg kritis. Sebaliknya, IMM semakin tertarik untuk melahirkan kader-kader yangg hanya pandai berorganisasi dan berpolitik, tanpa memedulikan akibat social dari tindakan mereka

Pendidikan dalam IMM semestinya berfaedah untuk membangun kesadaran sosial yangg tajam, yangg bisa menganalisis masalah-masalah lokal dan dunia serta merumuskan solusi yangg pro-rakyat. Eko Prasetyo dalam pandangannya tentang peran mahasiswa dalam masyarakat, menyebut bahwa aktivitas mahasiswa kudu berbincang bukan hanya dalam bahasa politik, tetapi dalam bahasa yangg mendalam tentang keadilan sosial dan kemanusiaan.

Ketika IMM lebih sibuk dengan politik kekuasaan dalam organisasi daripada memperjuangkan rumor sosial yangg relevan. Mereka secara tidak langsung telah mengingkari peran mereka sebagai pemasok perubahan. IMM semestinya meneguhkan kembalit ujuan dasar mereka untuk mencetak pemimpin yangg berbudi pekerti dan bisa menggugat ketidakadilan, bukan hanya untuk mencetak pejabat yangg terjebak dalam rutinita spolitik praktis.

IMM dan Relevansinya di Masa Depan

Di hadapan realita bahwa IMM lebih mementingkan politik internal daripada peran social mereka. Kita kudu bertanya kembali, apakah IMM tetap relevan sebagai pemasok perubahan di tengah krisis sosial yangg melanda masyarakat? Perjuangan IMM harusnya lebih dari sekadar meraih posisi dalam organisasi, tetapi kudu berfokus pada upaya untuk menciptakan perubahan yangg nyata bagi masyarakat luas. IMM kudu mengingat kembali peranannya sebagai aktivitas mahasiswa yangg tidak hanya berfaedah sebagai tempat untuk meraih jabatan, tetapi sebagai kekuatan moral yangg bisa menggugat ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka yangg tertindas.

Kuntowijoyo dalam penekanan pentingnya pergerakan sosial yangg berbasis pada moralitas dan humanisme, pasti bakal mengingatkan bahwa IMM semestinya mengemban tugas moral untuk melawan ketidakadilan yangg ada, bukan hanya melibatkan diri dalam perburuan kekuasaan yangg tidak memberikan faedah bagi masyarakat. IMM kudu bias membuktikan bahwa mereka tidak hanya berfokus pada diri mereka sendiri, tetapi juga pada nasib dan kesejahteraan masyarakat yangg lebih luas.

Menyadari Kembali Tujuan Perjuangan

IMM, dihadapkan pada krisis identitas , kudu memilih antara melanjutkan peran mereka sebagai bagian dari mesin politik kekuasaan alias kembali menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Jika mereka terus mengabaikan tugas moral dan idealisme awalnya, maka IMM bakal kehilangan relevansinya sebagai organisasi yangg memberikan akibat positif bagi perubahan sosial. Buya Syafi’i dalam memandang aktivitas mahasiswa, selalu menekankan pentingnya keberanian moral untuk melawan ketidakadilan. IMM kudu kembali pada jalan perjuangan mereka yangg sebenarnya, dengan meneguhkan kembali komitmen terhadap perubahan sosial yangg lebih besar, bukan hanya mengejar posisi dalam organisasi.

*Aktivis IMM & Penjaga Khittah Perjuangan Muhammadiyah

Post Views: 12

-->
Sumber khittah.co
khittah.co